Kinan menyeruput tehnya perlahan. Sangat perlahan, seolah olah teh yang ada dalam cangkir itu adalah air suci yang harus diminum dengan perlahan. Seteguk teh manis hangat itu mengaliri kerongkongannya dan perlahan perasaan hangat dari teh itu mengaliri hatinya. Seolah seperti itu.
Padahal Kinan tahu, perasaan hangat tersebut bukan berasal dari Peach Tea hangat yang baru diseduh Mbok Nah sore ini. Perasaan hangat di hatinya secara jelas Kinan tahu penyebabnya. Penyebabnya adalah pertemuannya dengan Genta siang tadi.
Iya, Genta yang pernah mengisi hari-harinya lima tahun lalu. Tadi siang Kinan bertemu dengan Genta itu. Genta yang pernah dua tahun menjadi sandaran hatinya, Genta yang pernah membantunya menyelesaikan tugas akhirnya waktu kuliah dulu, Genta yang menjadi teman berbaginya yang setia, Genta yang mengenalkannya pada dunia Advertising, Genta yang mengajarkan bagaimana bersikap profesional, Genta yang mendampinginya memasuki dunia pekerja, Genta yang dikhianatinya lima tahun lalu. Dan yah, Genta yang memilih pergi pada akhirnya.
Pertemuan itu bukan pertemuan yang tidak disengaja. Pertemuan Siang tadi merupakan pertemuan yang murni direncanakan. Direncanakan oleh mereka berdua, casual lunch yang malah berujung coffee time di Gedung Perkantoran tempat Genta bekerja.
Benak Kinan melayang ke percakapan yang terjadi siang tadi dengan Genta.
***
“Jadi, Sekarang kamu udah berhenti total dari dunia Advertising?” Genta.
“Kalau total sih belum yah Ta, masih satu divisi sama anak – anak Marketing, masih sering banget nongkrong sama anak – anak Marcom” Kinan
“But guess you’re the boss now, Ki” Genta.
“Not yet, Ta. I’m just a slave” Kinan.
” Hahahahaha. But we are corporate slave. Don’t you agree?” Genta.
Tawa renyah dan sapaan hangat di mata Genta belum berubah. Kinan paham betul itu. Lalu percakapan seolah mengalir, membahas apa saja yang Kinan lakukan empat tahun terakhir. Bagaimana akhirnya Genta membangun Advertising Agency miliknya yang dirintisnya dari jaman mereka sama sama kuliah dulu dan harus melihat bisnisnya itu hancur setahun lalu ketika satu persatu sahabatnya yang sama – sama membangun bisnis tersebut memilih menyebrang ke berbagai lini bisnis lainnya.
Pembicaraan siang tadi khas pembicaraan reuni yang terjadi saat Kinan berkumpul bersama kawan – kawan kuliahnya. Apalagi yang mereka bicarakan selain pekerjaan (elo inget Andrea? Angkatan 2005, sekarang dia kan udah jadi Manager loh di Unilever. Atau sejenis pertanyaan kasual; ‘Marcom tempat lo siapa sekarang yang megang?), bisnis, Aset, dan kalau yang ngumpul banyakan perempuannya … maka topik bahasan bertambah; keluarga.
Dan saat membahas topik terakhir biasanya Kinan beringsut menghindar. Kinan paling malas jika topik yang sedang seru – serunya tentang Advertising tiba – tiba harus berubah haluan ke topik keluarga. Alasannya sudah jelas. Karena Kinan memang belum berkeluarga. Dia lelah menghadapi hunusan pandangan mata teman – teman kuliahnya; yang seolah – olah meminta penjelasan kenapa dirinya masih belum berkeluarga. Seakan Kinan tahu kenapa dia belum berkeluarga.
Tapi bersama Genta, pembicaraan tidak berbelok ke pembicaraan tentang keluarga. Entah karena Genta seorang laki – laki atau mungkin karena Genta juga menghindari topik tersebut.
***
” Kamu masih seperti yang dulu Ki” Genta.
Dan pernyataan itu menggantung begitu saja siang tadi. Menutupi perasaan gugupnya, Kinan perlahan mengambil cangkir di depannya siang tadi. Sejuta pertanyaan berkecamuk di pikirannya.
Apa maksud Genta? Sudah jelas Kinan berubah sejak lima tahun yang lalu. Kinan lima tahun lalu tidak mungkin akan tampil dengan sepatu dengan heels setinggi tujuh senti. Kinan yang lima tahun lalu tidak mungkin menggunakan blazer dan rok seperti siang tadi. Kinan yang dulu bahkan tidak tahu bahwa eyeshadow bisa digunakan sebagai ganti pensil alis. Kinan yang lima tahun yang lalu hanya mengandalkan lip gloss body shop favoritnya.Kinan yang dulu pasti sudah menghabiskan sore bersamamu, bukan menikmati peach Tea seperti saat ini seorang diri.
Namun Kinan yang dulu pasti akan dengan mudahnya terbang melayang hanya dengan kerlingan mata yang teduh milik Genta. Bukan berati kerlingan mata itu sudah tidak teduh lagi, hanya saja …
Untungnya ojeg on-line pesanan Kinan sudah tiba dan hal tersebut seperti memaksa mereka berdua untuk menyudahi reuni kecil mereka tanpa memberi kesempatan Kinan untuk memberikan tanggapan atas pernyataan Genta.
Saved by the ojeg.
***
to be continued. maybe.
***
masih ingat cerita Kinan – Genta – Bima yang pernah saya coba tulis sekitar enam tahun lalu? Saya sedang mencoba meneruskannya. Well, proyek kecil – kecilan saja, untuk melarikan diri sejenak dari rutinitas. Kalau mampu dan sempat yah dilanjutkan, kalau tidak yah disempat – sempatkan saja.
P.S : ada yang pengen baca cerita sebelumnya? Here’s the link!