Saya : “ade tuh punya perasaan yang semakin hari semakin tidak terdefinisikan ke mas. Sampai susah dirangkai dengan kata-kata”
Dia : “kalau gitu yah sms aja … ”
***
Know what? Percakapan itu terjadi antara saya dan mas suamik. Saya dan dia punya kebiasaan ngobrol yang agak ajaib – menurut saya sih. Mengikuti jadwal kerja kami yang gak sama, dia dengan shift dan saya yang kerja secara 8 to 5. Kami lebih sering pillow talk. Tahu kan obrolan obrolan menjelang tidur … dan salah satu percakapan saya beberapa yang lalu dengan dia yah itu.
Saya belum pernah kan yah cerita soal mas suamik. Hehehehehe… okeh, cerita yah dari awalnya. Kurang lebih dua tahun yang lalu. Saya masih kerja di kantor lama waktu itu, dan atasan saya meminta saya untuk mencari tempat meeting. Bukan hotel. Bisa buat berkumpul sekitar 40orang.
Nah, kebetulan beberapa hari sebelum dapet perintah itu, saya dan gerombolan saya waktu itu lagi seneng banget menemukan tempat nongkrong di salah satu sudut di daerah paling hips di utaranya Jakarta (baca: kelapa gading).
Singkat cerita, sebelum mengajukan tempat itu ke atasan .. saya survey dulu ke lokasi itu secara detail (actually, kita nongkrong di tempat itu 5hari berturut turut jadinya). Tapi malem itu saya nanya sama waitress nya, bagaimana prosedur kalau saya mau reserve tempat untuk 40 orang. Dipanggilah si bapak supervisor. Dia nyamperin meja saya dan temen temen, mencoba membantu saya membuat rancangan reservasi untuk bos.
Obrol punya obrol, si bapak spv ini medok banget ngomongnya, saya nyeletuk lah, “mas nya orang tegal yah?”
Dia: “bukan mbak, saya dari purwokerto”
Hebohlah teman teman saya yang jumlahnya cuman dua orang itu.
Teman 1 : “ya ampun mas, satu kampung sama temen saya ini *sambil nunjuk saya* mau ga mas sama dia?”
Teman 2: “iya mas, dia lagi nyari pacar”
Idih banget kan temen saya. Akirnya jadi bahan becandaanlah kita berdua. Becanda sekaligus ngerayu biar dapet diskon sih.
Teman 1 : “iya mas, belum nikah kan?”
Dan dia dengan senyum mautnya itu ngejawab “belum, mbak”
***
Sisanya kapan kapan saya ceritain deh bagaimana kencan pertama kita (kencan?), bagaimana dia dengan suara medoknya itu nembang lagu yen ing tawang ana lintang, bagaimana dia ‘nembak’ saya (di pinggir jalan, depan indomaret, saya masih pake seragam kantor lama, gak ada romantis romantianya deh),
Kisah kasih kami gak semulus ceritanya raffi dan Gigi yah. Banyak banget perbedaan dari kami yang kadang memaksa kami untuk saling menjauh, mencoba berpikir ulang tentang kebersamaan kami. Kami dididik dari latar belakang keluarga yang berbeda, bahkan suku yang berbeda. Jenis pekerjaan, kebiasaan sehari hari, obrolan sehari hari, tingkat pendidikan, semuanya tentang saya dan dia itu berbeda.
Dia bukan tipe laki-laki yang betah diajak mengobrol dan menganalisa semua perilaku manusia-manusia di sekitar kami (yang senaaaang banget saya dan teman teman saya lakukan), dia bukan pria kece yang punya bakat fotografi terpendam, dia bukan pria keren dengan teman gaul yang beredar di mana-mana.
Dia pria sederhana yang punya prinsip-prinsip menakjubkan dalam hidup, pria lugu yang entah bagaimana caranya mampu bertahan dengan sifat dan sikap saya yang bisa sangat amat menyebalkan. Pria pendiam yang sabar dengerin saya ngoceh tentang kehidupan saya, tanpa meremehkan, dan dia benar-benar mendengarkan. Bukan sekedar belagak mendegarkan yah. Karena sering dia mampu menceritakan kembali apa yang saya ceritakan (part keisengan saya: suka nyuruh orang nyeritain ulang cerita saya, kalau saya rasa dia gak dengerin cerita saya. Tapi bener deh, pria pria di luar sana bisa belajar untuk mendengarkan dengan lebih baik biar terwujud perdamaian dunia #halah).
Gak, saya gak memuja dia setinggi langit kok. Dia punya kelemahan juga. Dia bukan superhero. Dia bukan Dr. Beno -nya Ika Natassa, bukan juga Nimo – nya Cintapuchino. Dia pria biasa. Yang jutek, gak romantis, hobi melarikan diri ke dalam gua kalau mendapatkan masalah (seperti pria lainnya :?:?:?), pria yang cenderung gak peka sama sensitifitas wanita, dia lempeng selempeng lempengnya alias gak ekspresif,
… tapi dia juga pria humoris yang mampu membuat saya tersenyum dengan lawakannya yang di luar logika, dengan kata-kata polosnya yang tak terduga, pria jenaka yang juga bijaksana dalam menghadapi hidup, pria sederhana yang punya rancangan gambaran masa depan yang sesuai dengan rancangan masa depan saya, pria pemimpi yang paling realistis yang pernah saya kenal, pria berhati lembut namun mampu membuat saya tidak terlalu drama (belum cukup berhasil, sih. Hahahahahaaha),
Dia pria yang mampu membuat saya menikmati hidup, mampu mengatasi ketakutan saya untuk berkomitmen jangka panjang, dia mampu meyakinkan saya bahwa ada pria yang siap mengahadpi semua keajaiban saya, bahwa ada pria yang mau berjuang bersama sama … bukan hanya diperjuangkan.
Namun yang paling utama adalah … dia membuktikan kata-katanya. Dia memegang kata katanya yang dia ucapkan dari awal kita deket. Diantara para pria penebar janji itu, hanya dia yang mampu menghadapi bapak saya, bersabar untuk setiap prosesnya.
Dan ternyata benar apa yang nenek bilang … bahwa … mereka yang mengucapkan ‘aku tuh sayang banget sama kamu, gak pernah aku sesayang ini sama orang lain’ atau mereka yang hobi menebar keseriusan dengan bercerita tentang ‘betapa seriusnya aku sama kamu‘; atau mereka yang melakukan hal-hal romantis lainnya (termasuk ngajak kamu ke rumah yang dia cicil dan bilang ‘ini rumah kita’), akan kalah dengan pria yang berani dateng ke Bapak kamu dan ‘meminta’ kamu dari Bapakmu.
Dulu saya pernah menganggap sepele hal itu. Itu loh .. bagian -serius-meminta-saya-ke-bapak. Aaahhh… semua pria bisa kok melakukannya. Big no no girls, gak semua pria bisa melakukannya. Mereka biasanya hanya bisa mengatakannya. Ada perbedaan besar di situ.
Mereka yang bisa mengatakannya ke kamu, belum tentu berani menghadap ke bapak kamu, mendengarkan jawaban Beliau, mengikuti tiap tahapan dengan sabar dan yakin bahwa tidak ada wanita lain dalam hidupnya yang ia inginkan selain kamu. Dan … pria ini melakukannya untuk saya.

… tapi dia pun berproses, bukan pria yang sejak awal berani. Dia pun pernah mundur untuk mempertimbangkan kembali. Melalui malam-malam tukar pikiran kami, diantara gelas kopi plastik favorit kami, nasi goreng pojok jalan kesukaan kami, kami banyak berbagi rasa takut, kagum, semua rencana-rencana kami, impian-impian kami. Sampai akhirnya waktu, kesempatan, keadaan, dan rencana Allah yang membawa hati kami dengan yakin melangkah ke jenjang pernikahan.
***
Well … sekilas yah tentang si mas suamik malam ini. Semoga bisa menjadi semacam awal yang baik bagi saya untuk kembali nulis. Aamiin?
AAMIIN
see u, temans!
😙😙😙😙😙😙