Siapa bilang?

Siapa yang bilang hidup itu adalah kompetisi?

Siapa bilang hidup ini adalah perlombaan siapa duluan yang nikah, siapa duluan melahirkan anak,…siapa yang lebih duluan naik jabatan, siapa duluan yang berhasil lunas KPR, siapa duluan yang menambah properti untuk aset, siapa duluan yang punya usaha sampingan untuk passive income?

Lucunya hidup ini. Jaman sekolah lomba lomba siapa dapet rangking berapa, sekarang lomba koleksi foto healing berbagai negara. Berlomba lomba memvalidasi bahwa diri sendiri lebih hebat dari sekitar.

Tahu gak yang lebih lucu? Kita sendiri yang menciptakan iklim kompetisi ini. Kita sendiri yang merasa kalah saat teman sebangku rangking satu.

Kita sendiri yang merasa sedih, saat sahabat baik menikah duluan.

Padahal konon kata wiseman di suatu masa … Rahasia hidup bahagia itu salah satunya adalah menikmati hidup.

Belum rangking satu, yo urung wayahe: kudu sinau meneh.

Belum nikah, yo urung wayahe : jodohmu lagi membangun istana buatmu di suatu tempat.

Belum punya anak, yo urung wayahe: nek wis nduwe anak terus ngopo?

Belum naik jabatan, yo urung wayahe: lah wong job desc sekarang aja bikin kamu kewalahan.

Belum lunas KPR, yo urung wayahe: rejekinya masih ada kan buat lunasin KPR.

Catatan untuk diri sendiri: pada suatu masa, dirimu pernah memimpikan kehidupan yang kamu miliki saat ini. Walaupun terlambat sekian tahun, today is the day.

Kata siapa hidup itu adalah kompetisi? Kompetisi menuju finish yang mana? 

Langkah yang lebih panjang

Hari ini bisa dibilang salah satu hari yang penting bagi journey saya sebagai mamak pekerja. Hari dimana saya harus membawa kedua anak saya ke kantor. Karena satu dan lain hal, anak saya harus berangkat ke kantor sama saya. Kebayang dong ya mamak repotnya gimana; ngebangunin mereka pagi-pagi, mandiin mereka pagi-pagi. Untung ada bedinde yang bantuin nyuapin dan nyiapin bekel yak Bun…

Long story short, sampai tulisan ini dibuat di 10 menit menjelang jam pulang kantor, saya dan kedua anak saya baik-baik saja. Thanks juga buat anak magang yang udah ngijinin anak saya ikut masuk ke ruangan mereka dan duduk di antara mereka sehingga anak saya anteng pas ditinggal ngezoom (Hahahahahaha).

Tadi saya cerita sesama ibu-ibu pekerja di ruangan. Kami, sebagai seorang wanita sadar betul bahwa langkah kami : para wanita setelah menikah dan punya anak akan sedikit melambat dalam dunia bekerja. Dulu, sepuluh tahun lalu saat baru melangkah ke dunia korporasi saya ‘diajak ngomong’ sama bos pertama saya. Kebetulan saya dan salah satu staf yang masuk bareng itu laki-laki. Bos saya bilang gini : Nanti nih, langkah kamu akan kalah Is sama langkah si abang. Abang ini nantinya langkahnya lebih panjang sebagai seorang laki-laki dalam bekerja. Apalagi nanti kalau kamu sudah menikah.

Weitss sebagai fresh graduate yang baru kenal dunia, saya dalam hati protes. Walau di bibir saya bilang : Siap Bos. Tapi dalam hati kecil saya protes. Jengkel. Isssh, ini namanya diskriminasi! Harusnya laki-laki dan perempuan punya kesempatan yang sama!

Saya lupa: kesempatan boleh sama, tapi prioritas pastinya berbeda. Tidak bisa dipungkiri, wanita setelah menikah dan punya anak pasti akan memiliki perspektif lebih luas dalam menetukan pilihan-pilihan dalam karirnya. Tidak semua memang, tapi siang tadi di ruangan saya …. para Ibu bekerja sepakat; bahwa kami memilih prioritas pada keluarga kami. Adapun hal-hal yang kami lewatkan dikarenakan berubahnya prioritas kami, kami sadari betul.

Walau, dalam kasus saya : berbanding sama kemampuan saya juga dalam bekerja. Ternyata yowis, saat ini belum bisa digeber sampai pol. Belum bisa fokus pada pekerjaan dan mencurahkan seluruh hati, pikiran dan hari-hari saya pada pekerjaan. Apa karena anak-anak? Belum tentu juga sih kalau saya gak punya anak saya bisa punya karir cemerlang (hahahahahaha).

Namun, mungkin (ini mungkin loh ya) saya akan bisa lebih fokus dalam menentukan pilihan dalam bekerja, sehingga bisa membuat saya menjadi lebih perform.

Sekali lagi, ini mungkin. Karena mau jutaan what if di kepala saya berlarian, waktu gak akan putar balik kan?

Cheers,

They do what they see

Good Day, Teman-teman

Saya punya bahan untuk menulis di blog ini lagi akhirnya. Setelah bertransformasi dari mbak-mbak galau mencari katak untuk dicium agar berubah jadi pangeran, blog ini akan coba saya ubah menjadi lebih ke blog ’emak-emak bekerja’. Hahahahahahaha. Mari kita coba,

Kali ini saya akan membahas mengenai apa yang terjadi di rumah semalem. Jadi, saya di posisi sudah akan tidur, begitu juga dengan si sulung dan si bungsu. Video call Ayah adalah salah satu ritual bagi keluarga Long distance macam kami. Jadi, tepat sebelum lampu dimatikan, kami menelpon Mas Suamik.

Pembicaraan berlanjut dari halo pertama sampai ke laporan si sulung mengenai cemilan jajanannya yang direbut dan dimakan habis sama si bungsu. Begini kurang lebih percakapannya :

My number 1 : jadi, ceritanya tuh Aka lagi makan jajan kan. terus Aka mau pipis. jadi Aka taruh jajannya di meja

Mas Suamik : Terus?

My number 1 : Terus pas Aka balik, Nin minta, Aka bilang gak boleh, terus Nin tetep minta.

My number 2 (ngerebut) : Kan mbak bilang boleh

My number 1 : Ya tapi kan aka bilangnya ‘nih ambil’ gitu ‘NIH AMBIL’ (dengan nada merajok)

Mas Suamik : ya kan disuruh mbak

My number 1 : Kan Aka ngambek

Mas Suamik : (ketawa)

Terus saya ngebatin. Ini Anak siapa ya doyan banget ngambek-ngambek gini. Tanpa perlu berpikir berulang-ulang, saya baru inget: TENTU SAJA ANAK SAYA, siapa lagi dalam keluarga kami yang doyan ngambek dan juara kalau ngambek? Inner circle saya pasti udah tahu lah.

Bahkan, BAHKAN … minggu lalu saya left group WA kerjaan dikarenakan ada perkataan salah satu anggota group yang saya rasa menyerang tim saya. Kebayang gak sih? Umur udah gak muda, tapi masih meletup-letup kalau marah. Jadi adegan si sulung ngambek sama si bungsu karena rebutan makanan gak terasa asing bagi saya dan mas suamik. Karena begitulah dalam hubungan kami: ada saya yang tukang ngambek.

Saya harus bersiap akan ada mengganti posisi saya sebagai si tukang nganbek : anak saya yang sulung. Harusya jadi tahu ya apa yang harus dilakukan ketika berhadapan sama si tukang ngambek.

Ya ternyata teori yang menyebutkan : they do what they see benar adanya. Anak-anak akan mengcopy secara sempurna bukan hanya kata-kata kita, bahkan perilaku kita pun ditiru dengan presisi bahkan lebih. Welcome to toddler parenthood journey, Mbak Ais.

Sebuah wacana

Selama seminggu terakhir, saya dan suami lagi punya satu topik diskusi serius menyangkut masa depan keluarga kecil kami. Dan, hal itulah yang bikin saya banyak berpikir dengan lebih serius. Bahasa saya ketika usia remaja pengangguran dulu adalah : kontemplasi.

Saya merasa ini sebuah pemikiran yang harus saya pikirkan lebih dalam dan mendetail.

So, apa sih bund yang diobrolin? Soal … (drumroll) memiliki anak lagi. Iya, saya yang beberapa waktu lalu baru mengabarkan kelahiran anak kedua lagi kepikiran pengen punya anak lagi. Menyenangkan sekali ya rasanya punya bayi lagi.

Oh, tenang saja. Pro dan kontra sudah kami (saya dan masnya) diskusikan panjang kali lebar. Mulai dari kerempongan akan alat pompa, ASIP dan printilannya yang sudah saya lewati, rewang yang sepertinya akan mengambil nine months notice kalau tahu saya sampai hamil lagi, sampai dengan harapan kami untuk memillik anak laki-laki.

Tapi ya, tiga itu … banyak. Tangan cuman dua loh bund (empat sih, sama tangan masnya. Belum ditambah tangan rewang. dan tangan rewang nomor dua. Tuhkan. Tangannya masih banyak).

Iya, postingan di medio tahun 2022 ini akan membahas mengenai dilema saya pengen punya anak lagi, yang sama besarnya dengan gak pengen.

Ya, saya baca juga mengenai fenomena childfree yang dianut oleh influencer itu.

Dan jujur saja, itulah yang saya kemukan ke masnya : memangnya kita bisa mendidik mereka? Memangnya kita siap secara tenaga, finansial, emosi dan juga pengetahuan untuk memiliki anak tiga? Bagaimana jika mereka (anak-anak kami) protes ke kami, kalau kami as their parents gak bisa memenuhi kebutuhan mereka dengan cara terbaik. Gak bisa mendidik mereka dengan cara terbaik, gak bisa menyekolahkan mereka di sekolah terbaik, gak bisa nyekolahin mereka sampai S2, gak bisa mengirim mereka holiday ke Europe. Bagaimana kalau mereka protes akan hal itu?

Bu, dulu kamu disekolahin orangtuamu sampai S2. Kenapa kami hanya disekolahkan sampai S1 saja?S

Secara praktisnya, saya gak memikirkan mereka secara makro untuk memberikan manfaat bagi peradaban dunia; menjadi bagian dari perdamaian dunia. Oh, itu terlalu jauh. Saya hanya berharap mereka bisa secara mandiri menghidupi diri mereka; tidak tergantung sama orang lain. Kalau mereka bisa berkontribusi lebih pada nusa bangsa dan agama, itu adalah nilai plus. Ya kan?

Iya, saya sempet loh mikirin itu semua di sela-sela deadline penyerapan anggaran, realisasi KPI, penyusunan Rencana Anggaran tahun 2023, penyusunan rencana kerja 2023, sambil ngomel via WA ke rewang-rewang di rumah yang pada ijin gak masuk kerja.

Ya sudah. saya simpan dulu catatan ini, supaya besok-besok ketika wacana punya anak ketiga muncul saya bisa menjadikan apa yang ditulis di sini sebagai bahan pertimbangan. Ya kan?

Cheers,

Tergelitik

Sore ini, di twitter saat timeline riuh karena gempa yang mengguncang beberapa wilayah di Pulau Jawa, saya malah sibuk me-reply twitter salah satu akun di twitter. Pertanyaannya tentang usia berapa kamu merasa terdesak untuk menikah? Saya menjawab panjang untuk twitter tersebut. Well, not really. Hahahaha, maksudnya gak sepanjang itu untuk dijadikan thread. tapi lumayan panjang karena jadi 2 reply-an.

Jawaban saya di twit itu membuat saya ingin menulis di sini. Saat pikiran saya buntu terhadap data yang harus saya olah, saya ingin sedikit release dan mengurai isi kepala saya. Menulis pernah menjadi arena saya untuk ‘lari’ dari rutinitas. So, kita coba lagi ya saat ini.

Menikah, pernah menjadi sesuatu yang sangat menakutkan bagi saya. Ada titik di mana saya tidak ingin menikah. Akhirnya saya memutuskan untuk menikah dengan suami saya waktu itu sebenarnya karena social pressure. Oh ya, betul. Saya termasuk dalam kelompok itu; Kelompok yang dinilai oleh para netijen masa kini sebagai ‘wanita-hampir-matang-yang-takut-menghabiskan-waktu-sendiri-dan-akhirnya-terpaksa-menikah’. Terus habis tuh saya mikir lagi; Apakah saya bahagia? Lalu terlintas begitu saja, kilas baik pernikahan yang saya jalani yang baru seumur jagung. Bagaimana saat saya bertengkar dengan mas bojo, bagaimana saya mewek nangis-nangis karena baru punya anak dan jahitan sesar perih dan bayi yang berumur seminggu nangis tiada henti, bagaimana saya dan mas suami date night nonton film yang ‘gak saya banget’ karena cuman ada itu yang tersisa di jam itu, bagaimana kami mengobrol pelan-pelan sambil makan ciki di lantai saat tengah malam -karena waktu itu anak-anak gak boleh makan ciki, tapi kami lagi pengen banget-, bagaimana kami berdua terbahak-bahak melihat ulah si bungsu, dan masih banyak lagi cekikikan kami lainnya.

Ketika ada pertanyaan itu… apakah kamu bahagia? saya tidak melihat pilihan lain untuk lebih bahagia dibandingkan saat ini. Maksudnya, apakah saya lebih bahagia kalau saya tidak menikah? Belum tentu. Pun, saat saya bertanya dalam hati : gue telat nikah gak sih? Di saat teman-teman seangkatan saya sudah mulai menyekolahkan anak di Sekolah Dasar. Apakah saya akan lebih bahagia kalau saya nikah di waktu yang tepat? i’m not sure about that.

Sama seperti saya gak tahu apa yang akan terjadi jika saya memilih pilihan – pilihan lain dalam hidup. Apakah saya akan lebih bahagia ketika saya memutuskan kuliah di jurusan lain? Apakah saya akan lebih bahagia ketika saya gak mutasi dari kantor lama saya? Apakah …

Kayanya, dua postingan lalu saya ngebahas mengenai pilihan juga ya? Lagi disuruh milih apa sih, mbak ais? Hahahahahahaha. Gak tahu ya. Apa alam bawah sadar saya lagi berusaha memberitahu tentang sesuatu? Atau saya lagi butuh validasi atas pilihan – pilihan saya saat ini?

Well, apapun itu saya cuman ingin bisa menulis ini di sini. untuk pengingat bahwa; ya bahagia itu kadang bukan melulu tentang apa yang didapat dan dicari, tapi pada rasa syukur.

Cheers,

-mbak ais yang lagi dikejar revisi hasil olah data tapi malah ngeblog sambil dengerin sheila on 7. Iya, yang lagu itu.

Hai,

Hai, kamu. Wanita hebat yang berhasil melewati tahun 2021 lalu dengan baik-baik saja. Tidak usah terlalu dipikirkan tentang hal-hal yang belum bisa diraih. Mari kita syukuri hal-hal yang sudah ada, walau begitu-begitu saja.

Hei, bukannya kita sudah sepakat yang begitu-begitu saja adalah sebuah anugerah yang patut kita rayakan untuk kita syukuri? Dulu, kita begitu begitu saja pulang pergi ke kantor tanpa masker. Lah kok sudah hampir dua tahun kita ke mana mana harus pakai masker. Rasanya, dulu begitu begitu saja. Ternyata, sekarang itu yang kita harapkan.

No pressure. 2022 will be no pressure for you, mbak ais. Jalani dengan baik-baik saja. Tidak usah terlalu banyak agenda. Jalani saja dulu agenda-agenda yang dulu.

Iya, termasuk agenda sepedahan setiap weekend. Ya, mulai rajin menulis lagi, itu juga. Berhenti menganggap Tok**edia sebagai penghantar tidur, itu juga. Ohya, berhenti menunda pekerjaan. Cmon …. Sekarang atau nanti tetap harus dikerjakan. Oh iya, agenda untuk lebih memikirkan masalah finansial juga termasuk. Apalagi?

Tidak banyak yang berubah dari dua tahun terakhir. Perubahan dalam kehidupanmu yang terjadi rasanya hanya seperti air yang mengalir. Anak anak bertambah besar, pekerjaan berganti job desc, teman teman menjauh karena tidak ada usaha darimu yang bersembunyi dengan alasan pandemi.

Ya, aku tidak banyak berharap di tahun ini. Falsafah dalam hidup tentang : kita gak tahu apa yang sedang terjadi nampaknya sedang diuji kebenarannya. Lewati tahun ini dengan tetap bersyukur dan berusaha. Berusaha apa? Ya berusaha agar semua baik-baik saja. Karena kamu biasanya akan mengacaukan apa yang sudah baik baik saja. Maybe you need a little drama in your life, but sometimes …. Well, cuman kadang-kadang sih … Kamu terlarut di dalamnya.

Jadi, tahun ini … No drama ya, mbak. Hahahahaha, sabar. Banyak bersyukur. Kadang, kamu tahu di mana tempat kamu cukup divalidasi.

Hahahahaahaha.

Cheees,

-aku, di awal tahun 2022

Being mom… (catatan untuk mereka, suatu hari nanti)

Hai, dramaland … apa kabar kamu? Semoga baik-baik saja. Yes, pandemi masih ada di Indonesia dan mungkin juga di seluruh dunia ya. dan, saya masih jadi satu dari sekian banyak orangtua yang struggling dalam mengajarkan anak di sekolah onlen. padahal, baru beberapa bulan loh saya nih jadi orangtua anak TK. Anak saya yang pertama baru bulan juli lalu jadi anak TK. yang nomor dua masih umur 2,5 tahun dan belum sekolah. rencananya mamaknya mau nyekolahin PAUD. tapi berdasarkan masukan dari netijen di sekitarku (hahahaha), aku nunda dulu deh. si gemes nomor dua kayanya belum bisa, karena pernah ikut free class dari salah satu learning club si nomor dua pelukan terus sama mamaknya. padahal onlen loh kelasnya. beda banget karakter nomor satu dan dua. yang nomor satu dengan sigap duduk manis dan pakai baju rapih dan antusias di kelas perdana.

ya mungkin faktor usia juga ya bund, makanya bisa beda gitu perilakunya.

so, mau membahas apa kita di siang hari ini, sambil nunggu report saya direview atasan saya. ngobrolin dunia kerja? ah gak usah ya, kantor saya lagi menarik perhatian karena mau Merger dan beberapa bulan terakhir kami sudah banyak kampanye, lagia juga saya belum punya kapasitas untuk membicarakan itu.

kita bahas curahan hati saya ya a few years later dari mbak-mbak dramaqueen menjadi ibu-ibu beranak perempuan dua yang hobi nonton netflix dan maen games projet makeover di HP. kalau ditanya, bagaimana rasanya menjadi mamak-mamak saya bakal jawab luar biasa. not good all the time. but something good always happens everyday. Kaya misal semalem, saya harus lembur di jadwal WFO kan … saya pulang sampai di rumah dua bidadari sudah di kamar dan siap tidur. terus setelah rangkaian panjang naruh barang -semprot2, mandi, milih baju, sholat, minum air, makan bakso – saya masuk ke kamar menyusul mereka. terus yang nomor dua meluk saya dan bilang: nin tuh kangen sama ibuk, tauk… sambil elus-elus pipi. Ya ampun pemirsa, itu yang namanya capek setelah seharian ngantor rasanya luluh denger si 2,5 tahun ngomong gitu dengan ekspresi sok meloow.

tadi pagi juga, si nomor satu dan nomor dua rebutan mau mandi sama siapa terus rebutan meluk caper sama mamaknya. terus saling teriak : ini ibu nin, ini ibu Aka. bold ya Kak, sambil teriak-teriak soalnya.

Mamak ngomel? alwaaaays everyday. dari teriakin suruh mandi, teriakin kalau mereka berantem, ngomel-ngomel karena mereka makan diemut, apalagi? daftarnya banyak, bund. tapi ada banyak hal yang dipelajarin: jadi ibu itu gak bisa egois. ketika saya mau ngegame project make over, tapi screen time anak-anak udah habis ya saya matiin HP. sepengen apapun saya ngegame. Terus ketika pagi-pagi mau jogging tipis-tipis habis shubuhan, apalah daya tangan kanan dan kiri dikekep dan dijadiin guling sama mereka. Mikir habis PPKM mau travelling ke mana ya, rute rumah kantor sudah mulai membosankan… mikir budget yang harus dihabiskan kalau rombongan lenong (dua anak dan satu ART) ikut.

Gak ada pilihan yang terbaik. Ketika kita memilih untuk menjadi Ibu, kita harus dihadapkan pada plus minus nya. dan ketika kita memilih untuk tidak memiliki anak juga ada plus minusnya. Yang mana yang sesuai saja sama kondisi dan hati kita. Bener gak? Capek loh dalam hidup kalau semua pilihan Kita itu harus memikirkan hal lain. Nih saya jembrengkan pilihan – pilihan yang harus saya hadapi dari saya berumur 17 Tahun :

Kuliah di mana? Negri atau Swasta

Selesai kuliah mau kerja apa kuliah lagi?

Kerja di mana? di Perusahaan kecil atau langsung di perusahaan besar?

Nikah sama yang mana?

Mau nikah : resepsi besar-besaran atau bagaimana?

Setelah nikah : keluar rumah atau stay di rumah orangtua?

Mau punya anak berapa?

Setelah punya Anak : ASI apa sufor

and the list goes on and on … belum lagi problematika as a new mom: popok apa diaper, pakai ART atau tidak, dan cabang-cabang dari pilihan itu banyak sekali. kalau udah milih gak pakai ART : masukin daycare atau nitip ke orangtua. Semua harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Waktu anak saya masih satu, saya kekeuh gak pakai ART, dan saya harus berpikir bagaimana nih saya gak pakai ART : orangtua Kami gak tinggal di kota yang sama. terus anak gimana? Dan, pilihan saya : saya titipkan ke tante saya. Tiap pagi sebelum kerja saya drop si nomor satu di rumah tante saya, lalu pulang saya jemput juga. Setelah hamil yang kedua, saya memutar otak dan diskusi dengan semua yang terlibat dalam pengasuhan : mas suamik dan mertua: aku kudu piye? dan, keputusan menggunakan ART akhirnya merupakan keputusan yang paling baik buat saya. mungkin, gak ideal untuk sebagian orang. Saya sih tutup kuping kalau ada hal-hal relevan yang gak ngaruh buat saya. kecuali misal mertua/ibu saya gak mau cucunya dipegang ART, baru saya mikir. Paling saya tanya balik; piye, Bu .. mau njagain putune?

Sama kaya ketika memutuskan yang nomor satu sekolah atau tidak tahun ini. Sebagai lulusan psikologi (dan filsafat) yang idealis saya ingin menjadi guru pertama bagi si mbak. Namun apalah daya ya bund, saya ternyata gak sekonsisten dan setegar itu untuk mengajarkan anak saya. Akhirnya si mbak masuk sekolah deh. dan percayalah, menndampingi si mbak sekolah onlen merupakan pengalaman yang ajaib. Pengalaman ajaib setelah menikah, hamil, kemudian melahirkan: gak bisa dilukiskan dengan kata-kata. celetukan si mbak yang ngeselin tapi ngegemesin di satu waktu bisa bikin senyum-senyum namun di waktu lain bisa bikin mengelus dada dan istighfar. kaya randomly, si mbak ini teriak-teriak manggil gurunya ketika sesi online. gurunya dengan sigap bertanya, “kenapa Mbak?” terus dia menjawab : Bu Guru, tadi tamunya yang datengin Bu Guru namanya siapa -hanya karena bu Guru di awal kelas sempat ijin menerima tamu. belum lagi kalau disuruh ngerjain buku paket dia jawab: kemaren kan sudah, Bu.

Hoalaaaahh.. dalam hati Saya mbatin, ‘nek aku njawab ngunu ke mbokku, wis diseseni aku, nduuuukkk’

Ibu saya ketika saya cerita mengenai pompa ASI, Beliau terkagum-kagum dan bilang; teknologi sekarang sudah berbeda. kalau kita gak bisa memberikan yang terbaik buat anak-anak, sayang sekaali. – menanggapi saya yang kekeuh ngasih ASIP ke anak – anak saya.

Apppaaa inti dari tulisan ini jadinya, Bu Ais? the point is … menjadi apapun, pilihan apapun yang kita jalani dipastikan yang terbaik untuk kita. So, mau minum Sufor, mau pakai diapers, mau mendidik dengan gaya homeschooling, mau gak punya anak, mau tidak menikah, mau diet habis-habisan, mau ngelanjutin kuliah S3, silahkaaan …

itu yang ingin saya tekankan juga untuk dua bidadari saya;

Hidup akan menghadirkan pilihan-pilihan yang banyak sekali untuk Kalian. Pilihlah dengan bijaksana. Ibu akan berusaha memberikan pengetahuan mengenai norma agama, etika dan sebagainya yang kalian butuhkan agar kalian bisa memutuskan pilihan-pilihan terbaik ketika waktunya sudah tiba untuk kalian dan kalian mampu menanggung risikonya. Walaupun, saat ini mohon maaf Ibu belum mampu untuk membiarkan Kalian mengambil keputusan sendiri.

*sambil mberebes mili membayangkan mereka, yang suka ngotot milih pakai celana daripada rok-rok lucu yang saya belikan dan ngotot bilang itu b, padahal jelas-jelas itu d. well, pilihan lebih dari sekedar mau makan abon atau telor ya Nak.

Cheers,

ais

ps: sebuah pengingat buat Ibu Ais jika suatu hari nanti bertengkar dengan versi dewasa bidadari-bidadarinya yang berbeda prinsip, ingat pandangan ini! ingat ketika dulu ambil kelas Filsafat Barat dan kamu dianggap punya standart ganda untuk argumen kamu. remember: untuk berdiri tegak, motor juga butuh standart ganda. you know, balance. dengarkan mereka, berpikir dengan cara mereka berpikir.

Monolog ke-572

Tadi pagi ibunda menghubungi, kami bercerita panjang lebar. Dari berbincang tentang Hari Jumat, mengabsen kabar saudara-saudara, hingga berbicara mengenai finansial. Ah, i always be her daughter. Lucu ya, bagaimana masa muda kuhabiskan dengan mencari-cari kesalahannya. Selalu bersebrangan dengannya dalam hal berpendapat. i always be her other side.

Lalu tiba tiba ketika kami jauhnya berpulau-pulau, dan kalau mau ketemu harus menempuh perjalanan dengan pesawat berjam jam, mendadak jadi seperti Gilmore Girls. Sibuk update keseharian. Absen tiap hari, saling telpon-telponan untuk bercerita tentang kesehariannya.

Randomly banget, Ibu minta saya kuliah lagi. i just like, whaaaaat.

udah monolog segitu aja. saya lagi coba mendinginkan kepala saya 🙂

cheers,

dari aku, yang 2 minggu ini babak belur dihajar deadline.

immune booster

Hai,

Buat temen-temen sebenernya immune booster di saat seperti ini apa sih? Saya ada minum beberapa suplemen dan madu. Terus selain itu saya selalu mengusahakan untuk makan dan tidur dengan cukup dan teratur. Tergoda diet-dietan gitu sih. tapi Berat Badan saya semenjak Pandemi sudah menurun drastis. Gak nyangka banget saya bisa menyentuh angka BB 50an sekian. walaupun 50annya mepet ke 60kg ya. Hahahahaha.

Jadi kaya nya diet saya coret deh dari keseharian saya. Entah ya, sejak pandemi tahun lalu hasrat saya untuk jajan makanan tuh menurun gitu. Makan juga jadi jarang. Mungkin tanpa sadar tubuh saya tuh kaya ‘depresi’ gitu sama situasi yang tak menentu ini. Kekhawatiran saya yang gak saya pikirin ternyata membuat tubuh saya tuh ngasih alarm… woii lo mikir apa woiii… gitu kali ya badan saya ngomong ke otak saya. Mungkin loh ya, mungkin.

Dulu waktu mau nikah, saya punya 1000 pertimbangan. Terlalu banyak what if what if di kepala saya. Bahkan, ketika mau punya anak pun saya mikirnya udah macem-macem. sampai saya pernah curhat ke temen online saya (alias sobat maya. aeeehhh), saya bilang “aku tuh khawatir deh gak bisa memberikan kehidupan yang layak untuk anakku nanti. aku khawatir aku gak bisa jadi orangtua yang baik

Terus temen saya itu ngomel. Katanya yang harusnya lebih khawatir dia. Dia gak lulus kuliah, gak punya pekerjaan tetap, masih tinggal nomaden di mana-mana. dia ngomel, dan bilang kalau saya gak percaya sama kuasa Tuhan.

Saya tertohok waktu itu. Langsung diam dan berpikir. Sampai akhirnya saya hamil dan hamil lagi. Hahahahaha, doyan punya anak.

Dan, bener kata mereka : siapa bilang punya anak enak terus? Emang punya anak gak boleh capek? emang punya anak harus seneng terus? Couldn’t more agree sih sama pendapat itu. Saya kalau gak ngomel dan teriak di rumah, itu berasa ada yang kurang aja gitu. iya sih, punya anak bukan buat diomelin. Tapi kadang gak bisa kontrol aja gitu. Apalagi kalau yang bungsu udah mulai ikutan polah si sulung. Pusing kepala saya. Kadang lagi sibuk briefing di zoom karena mau ada acara, si sulung bisa-bisanya videokol saya (padahal kita lagi ada di rumah yang sama, cuman beda ruangan) cuman buat ngadu kalau adiknya baru aja ngerebut mainan dia.

Tapiiii… mau riweuh kaya apa juga, at the end of the day kita pasti udah saling usel-usel, udah saling bilang i love u, peluk-pelukan dan saya juga akhirnya minta maaf karena udah gak sabaran. kadang suka dibilang lebay dan drama sih. tapi saya mau mencoba untuk berlatih minta maaf ke anak, karena sadar saya as their ibu juga bisa melakukan kesalahan. Ibu is just human being kan ya.

dan kalau badan saya mulai capek dan mulai pegel-pegel gak jelas, somehow mereka bisa jadi obatnya. mereka tuh kaya immune booster buat saya. karena bagian kecil dari hati saya bilang “woi jangan sakit woi, kasian anak-anak“.

ini nih salah satu kondisi dimana Ibu teriak – teriak … ngapain coba maenan sama bumbu2an gitu?

cheers.

Random

Dear dramaLand,

dalam hitungan hari, umur saya akan berubah. Lucu ya, saya memulai blog ini dari usia 20an. saat masih jadi mahasiswa begajulan di Jogja. terus sekarang saya udah jadi mbak-mbak kantoran. Iya deh, bukan mbak-mbak tapi ibuk-ibuk kantoran. Gak pernah kebayang loh sebenernya dulu saya bakal jadi seperti ini. Bakal jadi ibuk-ibuk beranak dua (dulu kebayangnya punya anak satu doang), kerja kantoran (well ini pernah kebayang sih, tapi kebayangnya dulu jadi freelancer atau dosen gitu), tinggal di Ibu Kota (Purwokerto dan Jogja selalu jadi kota idaman untuk tinggal bagi saya), well apalagi ya.

Jadi apa yang akan saya bahas di sini hari ini? Saya juga bingung. Kemaren, saya berangkat dengan semangat ke Kantor karena jadwal kemaren adalah saya harus bekerja dari Kantor. ternyata. sampai di Kantor saya harus puter balik pulang. Karena ternyata lantai tempat saya bekerja ditutup. Ada rekan selantai yang positif Covid. Pulang ke rumah, saya diledekin suami katanya saya telat berangkat makanya suruh balik. Males banget gak sih, emangnya saya anak SMA.

tadinya saya mau nulis panjang tentang curhatan temen saya yang lagi hamil muda terus positif Covid. tapi habis itu saya mikir lagi. lah ngapain ya. Saya juga gak paham-paham banget sama kejadian dia positif. Cuman saya hanya bisa mendoakan dia dan bolak-balik wasap, menanyakan kabar dia.

Saya tuh kaya pengen bikin kenang-kenangan buat diri saya di masa depan. Atau semacam kaya surat untuk diri saya di usia random di masa lalu. Kaya yang waktu itu pernah saya buat. Lucu juga sih, nanti kalau sudah ada ide saya coba tulis ya.

sambil nulis ini, saya ndenger anak saya yang sulung (4tahun) teriak ke adek nya (2 Tahun) begini, ya sudah. Ambil aja. Aka gak sayang sama Anin lagi. Sebagai mantan drama Queen saya kaget dong melihat potensi ini.

What a random postingan ya gaes. Postingan ini berjumlah 304 kata.

Cheers,

ps: saya lagi usaha nulis artikel 1000 kata. a long way to go.

Pindah : monolog seorang pekerja

Good Day, Genks..

Siang- siang gini lagi pada sibuk apa nih? Saya sendiri lagi duduk manis di sebuah coffeeshop kenamaan ibukota dan lagi nulis skrip untuk sebuah acara yang konsepnya dibangun oleh saya dan tim kantor. Ini acara  kantor aja sih, tapi saya seneng banget karena dunia saya jaman dulu kaya balik : nulis, ngatur-ngatur skrip dan hal-hal lain diantaranya. oh ya di 2 postingan sebelumnya saya udah pernah cerita kan ya kalau saya mutasi ke kantor lain? Jadi saya udah pindah nih ke tempat baru, divisi baru yang spesifik urusannya. Kalau di kantor lama urusan saya dari ngurusin orang pelatihan, ngurusin lemburan OB, masalah uang pindah kalau ada orang mutasi, mikir orang promosi, belum kalau keseret-seret urusan mobil dan fasilitas kantor lainnya.

Kalau di kantor yang sekarang saya lebih spesifik dan khusus bagiannya. jadi happy-happy aja walau harus ninggalin comfort zone yang dibangun 6 tahun terakhir ya. Yah gak yang langsung happy gitu sih. Awal-awal saya drop. mewek. biasa apa-apa gampang di kantor lama. kerjaan udah kaya auto pilot gitu, ngerjain apa aja gampang. mau parkir di mana juga gampang. ada barang ketinggalan tinggal minta OB ngambil dari rumah. pokoknya hidup di kantor lama tuh guaaampang banget.

Begitu di kantor lama baru glagepan, dari seragam terus belum lagi adaptasi sama workmates baru, sama kerjaan juga kan. Tapi Alhamdulillah dengan waktu yang berlalu saya mulai bisa beradaptasi secara perlahan dan nikmatin banget proses ini. Sempet agak kecewa dikit sih ya karena belum dapet promosi, tapi pas saya kontemplasi gitu (aeeeh) saya sadar bahwa kompetensi saya belum cukup untuk dipromosi. Saya masih harus banyak (banget) belajar lagi. Ya typically ya genks. dulu di kantor lama saya udah berasa paling jago, paling okey, paling paham dan paling pinter dah. begitu nyemplung ke kantor baru, saya bukan apa-apa dong. Saya gak kenal banyak orang, saya minim banget pengetahuannya mengenai bidang yang saya kerjakan. Pokoknya blank. ada masanya saya ke kantor dengan perasaan menderita karena ga tahu mau ngerjain apaan. Sedih ya. Mana masuk pas pandemi kan ya, banyak yang gak ada di kantor.

Saya gak bilang kalau sekarang saya udah beradaptasi dengan baik, udah pinter dan bisa menguasai bidang dan punya BFF di ruangan baru,  endesbre endesbre karena nyatanya NO. saya belum menguasai banget bidang ini, saya masih belum mengenal dengan baik nama SELURUH Divisi saya.

Tapi saya mau nulis ini biar diri saya di masa depan tahu bahwa : PERUBAHAN itu sulit, gaes. Ngaku sok millenials yang agile dan mudah adaptasi nyatanya di saat pindah kerja masih agak gagap, itu gimana ya.

Ya sud, baiknya sekarang saya baca-baca artikel dan cari bahan untuk kerjaan saya ya.

Thanks dramaLand, sudah menjadi temanku berbagi cerita.

Cheers,

i miss u, bro

Tahun 2020 lalu merupakan tahun yang menyesakkan buat kami sekeluarga. Kami kehilangan anak dan adik kami: Agil. Kehilangan yang sebenarnya tidak mendadak, karena adik saya ini sudah sakit sejak tahun 2012. Sakit yang saya juga tidak terlalu paham, sakit apa. Sempat didiagnosis menderita Encephalitis, dan dirawat di rumah sakit selama 40 hari, kemudian sempat sembuh dan melanjutkan kuliah lalu lulus di tahun 2014.

Sekitar tahun 2017, dia Kembali melemah dan jatuh sakit. Berulang kali ke Rumah Sakit PON di daerah Cawang, dan membawa pulang obat yang banyak, lalu meninggal di Bulan Februari 2020.

Mari Kembali saya ceritakan hari dimana saya kehilangan adik saya satu-satunya. Pagi itu hari Sabtu, 1 Februari 2020 saya entah kenapa bangun di pagi hari dan ingin sekali membereskan meja buffet di ruang tengah, tempat kami menata foto-foto wisuda kami. Laci-laci meja tersebut saya buka, saya tata Kembali. Dan di tengah pekerjaan tersebut, saya mendapati foto Agil sewaktu kecil, lalu memamerkan foto tersebut kepada rewang saya di rumah, sambal membanding-bandingkan wajahnya dengan anak bungsu saya.

Setelah selesai merapihkan buffet, saya berencana pergi ke pasar kompleks untuk membeli keranjang-keranjang kontener, melanjutkan ritual bebersih saya. Hari itu hujan, saya pamit kepada suami dan membawa mobil saya. Baru sekitar 1 km saya mengendarai mobil kecil saya, ibu saya menelpon.

Dengan riang saya menjawab. Beliau menanyakan saya lagi ngapain, lagi di mana. Suaranya seperti habis menangis. Sampai detik ini, saya masih ingat kata-kata Beliau siang itu,

“is, adik kamu sudah gak ada”

Saya histeris, histeris dan berteriak tidak percaya. Saya memohon untuk menunggu saya datang sebelum Agil dikuburkan. Lalu sisa hari itu seperti melayang saya menjalaninya. Pemesanan tiket, sodara dan tetangga yang silih ganti berdatangan membuat saya melupakan sejenak kenyataan pahit: adik saya telah tiada.

Malam itu saya meninggalkan Jakarta menggunakan pesawat dua kali untuk sampai di Kota Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, tempat adik saya menghabiskan masa hidupnya selama sekitar 4 tahun terakhir. Sekitar pukul 09.00 waktu setempat, saya menangis memeluk bapak dan ibu saya.

Tekad saya untuk tidak menangis saat bertemu dengan Bapak dan Ibu hancur berantakan saat melihat adik saya terbaring kaku. Ditambah teriakan histeris Bapak dan Ibu. Saya menangis sejadi-jadinya melihat sahabat saya terbaring kaku dan dikelilingi orang-orang. Rasa tidak percaya bahwa dia telah tiada hancur berantakan saat mencium wajahnya yang telah dingin.

He’s my little brother, my best friend. I’m loosing him.

i miss you, Gil.

Dia yang mengenalkan saya pada Efek Rumah Kaca, Mocca, dan Lagu Hai orang Asing. Dia yang membuat saya bangga akan kemauannya yang keras untuk masuk UGM (dan lulus dengan title Sarjana), dia yang merupakan temen serumah saya selama 4 tahun terakhir saya di Jogja, dia yang ikut menyeleksi pria yang Bersama saya, dia yang pernah menjadi teman berantem soal gallon, tinta printer dan pemakaian kamar mandi.

Saya tidak pernah merasakan kehilangan yang sesakit ini sebelumnya. Saya tidak menangis berhari-hari atau berbulan-bulan. Hanya saja, saya menangis saat mendengarkan lagu-lagu Sheila on 7, saya menangis saat melihat foto-foto dia yang tidak sengaja hadir di memory google photo, saya menangis saat melihat kaos-kaos dia yang saya pakai, saya memangis saat anak saya menanyakan perihal papa Agimnya,

Saya bahkan tidak mampu menahan air mata saat menuliskan ini. Bagaimana Ibu saya berulang kali menceritakan saat-saat terakhirnya. Bagaimana Bapak dan Ibu saya melihat tatapan matanya yang seolah-olah pamit saat mengucap Allahu Akbar. Bahkan saat orangtua saya mengirimkan foto kuburan nya, saya berusaha kuat menahan tangis.

Apakah rasa ini akan menghilang? Apakah rasa kehilangan ini akan pergi?

Because, I miss u so much, bro …

Al Fatihah.

2020 season II

Dear Blog,

Hai. Apa kabar dramaLand? saat ini ditulis, sebenarnya sudah tahun 2021. Namun melihat berita terkini rasanya masih seperti di tahun 2020. Sama seperti ketika saya berulangtahun ke 27. Saya bilang, bahwa saya berusia 26 tahun yang kedua. Karena saya merasa begitu begitu saja. Saya waktu itu merasa tidak ada yang berubah. Lucu ya, bagaimana pencapaian-pencapaian kita di dunia seperti didikte oleh oranglain? didikte oleh masyarakat yang bahkan tidak paham bagaimana kita menjalani hidup.

Sewaktu berumur belasan tahun, saya kekeuh menetapkan target menikah di umur 25 tahum, lalu memiliki anka di usia 27 tahun. Realisasinya? Haduh, haduh. Saya ‘telat’ menikah 5 tahun dari target. Punya anak pun juga begitu. Kenapa bisa begitu ya? Dulu Ibu saya selalu berkata begini : kamu itu ibarat kereta api ekonomi. setiap stasiun berhenti. Beda sama temen – temen kamu, kalau dari Jakarta – Surabaya naek kereta Argo, wuss langsung bisa sampai dengan cepat. Gak pakai berhenti di setiap stasiun. Beda sama kamu, gampang banget teralihkan sama hal lain. Hebatnya, Ibu saya ngomong gitu gak sambil sewot. Sambil senyum senyum paham, seolah – olah tidak merasa kalau anak perempuan satu-satunya membuang-buang waktunya. Saya benar-benar menikmati waktu. Blog ini adalah salah satu wujud saya begitu menikmati waktu. Seharusnya ngerjain tugas tugas kala menempuh pendidikan Master, malah asyik bergalau-galau ria di blog.

Wokey, saya mau menulis apa ya sebenarnya? Jujur, saat memulai tulisan ini saya sebenarnya sedang mengasah kemampuan saya menulis lagi. Buat apa? ini sejak Pandemi melanda dunia dan begitu banyak hal berubah, saya menyadari bahwa saya harus memiliki suatu skill baru yang saya asah di kala pandemi. Saya harus mengganti waktu hahaha hihihi saya di kantor, perjalanan saya PP kantor-rumah dengan sesuatu yang berguna kelak.

Awalnya saya stress. Saya merasa diwajibkan untuk tetap produktif. Saya mendaftar beberapa kelas, menonton beberapa tutorial (hidup). Hingga akhirnya ada satu sesi webinar yang saya cukup tertohok dengan isinya (lupa dengan kalimat pastinya seperti apa), namun pointnya adalah : tidak harus memaksa diri untuk tetap produktif di saat seperti ini. Ketika kita selamat dan sehat melewati masa sulit ini, itu sudah cukup.

Rasanya begitu mendengar itu saya makjleb. Saya ngotot banget memang di awal ketika saya harus bekerja dari rumah berharap say abisa mengisi waktu dengan lebih produktif. Tapi saya lupa, bahwa ini bukan holiday. ini bukan cuti besar. ini adalah perubahan yang harus seluruh dunia hadapi. Jika beberapa tahun yang lalu kita heboh dipersiapkan dengan era VUCA, (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity), percaya atau tidak kita sedang menghadapinya. betapa tidak pasti, kompleks, bergejolak dan tidak jelasnya kan situasi saat ini? Ada banyak hal yang harus di-adjust lagi, banyak kebiasan yang harus disetting ulang.

Dan, mengubah kebiasaan kan bukan hal yang mudah ya? Apalagi itu menyangkut orang banyak. Dulu ketika istilah new normal digaungkan, kita pikir itu hanya masalah wacana, seremonial dan istilah yang biasa saja. Halah, paling hanya perlu memakai masker kalau ke mana-mana. Nyatanya bukan hanya semudah rajin cuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak. Ini lebih substansial daripada itu.

we’re in the middle of crisis.

Apa yang harus kita lakukan? Selain banyak-banyak bersyukur? Mari kita nikmati waktu ini dengan sebaik-baiknya. Ya, kurangi juga membaca informasi-informasi yang tidak jelas sumbernya. Sayangi diri sendiri, kembangkan kemampuan untuk dapat memilah-milih informasi mana kiranya yang bermanfaat jiwa raga untuk kita dan keluarga.

Cheers,

2020, sejauh ini

Hola. Haloha. Hai Gaes,

2020 tinggal menghitung minggu yah ternyata. Ada sekitar 6 minggu lagi sebelum kita akhirnya berganti ke tahun 2021. Tahun dimana dulunya saya berharap saya akan memiliki Doraemon, lengkap dengan pintu ke mana saja, mesin waktu dan kantong ajaib.

Sekian lama saya tidak menengok ke blog ini, karena selain saya (sok) sibuk… saya juga merasa bahwa dunia maya bagi saya sudah tidak seasyik dulu. Bahwa dunia maya sudah tidak bisa lagi menjadi tempat ideal bagi saya untuk bercerita, untuk berbagi keluh kesah, untuk menumpahkan rasa (aiiihhh). Terlalu banyak intrik dan aturan dan entah apa namanya yang harus dijaga ketika kita berinteraksi di dunia maya.

Well, niat awal saya untuk menulis sore ini sebenarnya ingin bercerita tentang tahun 2020 ini. Terbersit rasa ingin menuliskan hal – hal besar dalam hidup Saya yang terjadi di tahun 2020 ini. Buat apa? Mbuh nggo ngopo, pengen wae.

  1. Adik saya meninggal dunia

Untuk teman – teman yang mungkin membaca blog saya dari awal mungkin masih ingat dengan Adik kandung saya, dia teman sekontrakan saya ketika memulai blog ini. Saya beberapa kali menceritakan tentang dia. Tahun 2012, dia didiagnosis menderita Encephalitis. Berulang kali ke dokter, beberapa kali melalui MRI dan pengobatan medis maupun non medis, akhirnya dia pergi untuk selama-lamanya pada tanggal 1 Februari 2020. Pukulan yang cukup besar untuk keluarga kami. He’s the most handsome, the smarter dan selalu mampu membuat kami sekeluarga geleng – geleng kepala dengan keputusan-keputusan berani yang diambil dalam hidupnya. Tapi kami tahu bahwa memang ini yang terbaik yang Allah berikan ke keluarga Kami. Dia sudah berjuang dengan sabar, dia bahkan menyelesaikan kuliahnya di Teknik Geodesi UGM setelah dua tahun cuti melawan penyakitnya. Bro, i’m so proud of you.

2. Merasakan work from home untuk pertama kalinya

Bulan Maret 2020, Indonesia mengumumkan kasus Covid-19 untuk pertama kalinya (iya bukan ya?) Hahahahahaha. Sepertinya begitu ya. Saya termasuk dari sekian banyak orang yang mengaku tidak bisa bekerja di rumah. Jujur, sebelumnya saya paling males kalau disuruh bawa kerjaan ke rumah. Karena, menurut saya rumah itu tempat istirahat. Rumah itu tempat buat santai. Beberapa kali berusaha bawa kerjaan ke rumah, dan beberapa kali pula gagal. Lalu ketika pemerintah mewajibkan perkantoran untuk mengatur jadwal WFH, akhirnya saya harus bisa bekerja di rumah.

Pengalaman yang benar – benar tidak terlupakan. Dari saya yang hampir nangis karena dimintai data dan tidak bisa memenuhi karena anak – anak gak mau berhenti main sama ibuknya (doh), sampek saya akhirnya punya space kerja sendiri di rumah lengkap dengan meja kerja ala kadarnya, semua melalui fase trial and error. Awalnya saya males beli meja kerja. Tapi setelah saya diskusi dan ngobrol sama Mas Bojo endesbre endesbre, saya memutuskan bahwa saya harus bisa fokus untuk kerja di rumah. Dan, begitulah salah satu ikhtiar saya untuk bisa lebih fokus menjalani WFH adalah : membeli meja kerja. Murah kok bund mejanya, saya milih yang biasa aja (maklum, masih nebeng rumah. Jadi belum berani beli furniture mahal-mahal ) Begini penampilan meja kerja saya di rumah:

3. Mutasi dari Kantor lama

Highlight berikutnya di tahun 2020 dalam hari-hari saya adalah, saya dimutasi. Sebenernya istilahnya apa ya. Iya, bener dimutasi. Setelah 6 tahun berada di jabatan sama, kantor yang sama dan peran yang sama, akhirnya saya dimutasi. Proses mutasi ini menyimpan banyak cerita. Dari permasalahan teknis pekerjaan, kenyamanan situasi bekerja, sampai politik kantor yang rasanya gak pernah etis diumbar ke publik. Iya gak sih? Buat jadi bahan hahahahihihi minum kopi bolehlah. Jadi, kapan kita ngopi bareng? 😀

Satu hal yang saya pelajari dengan sungguh-sungguh tahun ini adalah perubahan itu memang menyakitkan. Change is painful. Tadinya saya punya adik, ketika adik saya harus pergi, saya menjadi orang yang less care terhadap segala sesuatu yang menyakitkan hati saya. Jadi less drama gitu (rasanya). Jadi kaya lebih cuek. Mungkin ini hanya perasaan saya ya.

Tadinya saya tiap hari harus ke kantor, sekarang seminggu hanya 3 – 4 x, tergantung dari jadwal yang diberikan. Efeknya? Saya harus mampu mengatur waktu saya seefesien mungkin dan gak terlena dengan peran saya sebagai ibu (aduh Bund, namanya kalau udah sama anak ya…rasanya gimana gituuuuuu). Walaupun lebih sering failed sih ya. Hehehehehehe.

Well, bukankah memang hidup itu seperti itu? Hidup menuntut kita untuk sigap terhadap perubahan kan? Karena setiap kita terbangun di pagi hari, itu adalah hari yang berbeda dari sebelumnya kan?

Cheers,

Ps : untuk diriku di masa depan, ketika kamu membaca ini lagi. jangan ketawa ya. Postingan ini dibuat pertama kali setelah sekian tahun kamu gak nulis di blog.

Begini,

Ada hal hal yang kemudian harusnya kita lupakan. Nada nada sumbang yang berbicara di belakang kita, gosip tidak penting soal selebriti yang bahkan tidak kita ketahui korelasinya dengan kita.

Tuhan sempurna menciptakan memori kita yang terbatas ini. Dengan segala kelebihannya, memori kita miliki mekanisme tersendiri untuk memilih mana yang harus kita ingat dan mana yang dilupakan.

Dilupakan atau terlupakan itu hanyalah masalah teknis. Tidak peduli mana yang terjadi, ujungnya adalah perginya beberapa keping hal dari memori kita

Pernah terbayangkan gak jika memori kita tidak memiliki mekanisme ini? Mungkin teori Freud tidak akan lahir ya. Mungkin. Mungkin kepala kita akan sering hang, sama seperti handphone yang kepenuhan memori.

Ya kan.

Satu lagi alasan untuk terus bersyukur, kali ini karena Tuhan menciptakan mekanisme lupa dalam hidup kita.

Kebayang gak sih kalau kita masih ingat sakit hati pertama kita?

Ouch.

Cheers.