Sebuah wacana

Selama seminggu terakhir, saya dan suami lagi punya satu topik diskusi serius menyangkut masa depan keluarga kecil kami. Dan, hal itulah yang bikin saya banyak berpikir dengan lebih serius. Bahasa saya ketika usia remaja pengangguran dulu adalah : kontemplasi.

Saya merasa ini sebuah pemikiran yang harus saya pikirkan lebih dalam dan mendetail.

So, apa sih bund yang diobrolin? Soal … (drumroll) memiliki anak lagi. Iya, saya yang beberapa waktu lalu baru mengabarkan kelahiran anak kedua lagi kepikiran pengen punya anak lagi. Menyenangkan sekali ya rasanya punya bayi lagi.

Oh, tenang saja. Pro dan kontra sudah kami (saya dan masnya) diskusikan panjang kali lebar. Mulai dari kerempongan akan alat pompa, ASIP dan printilannya yang sudah saya lewati, rewang yang sepertinya akan mengambil nine months notice kalau tahu saya sampai hamil lagi, sampai dengan harapan kami untuk memillik anak laki-laki.

Tapi ya, tiga itu … banyak. Tangan cuman dua loh bund (empat sih, sama tangan masnya. Belum ditambah tangan rewang. dan tangan rewang nomor dua. Tuhkan. Tangannya masih banyak).

Iya, postingan di medio tahun 2022 ini akan membahas mengenai dilema saya pengen punya anak lagi, yang sama besarnya dengan gak pengen.

Ya, saya baca juga mengenai fenomena childfree yang dianut oleh influencer itu.

Dan jujur saja, itulah yang saya kemukan ke masnya : memangnya kita bisa mendidik mereka? Memangnya kita siap secara tenaga, finansial, emosi dan juga pengetahuan untuk memiliki anak tiga? Bagaimana jika mereka (anak-anak kami) protes ke kami, kalau kami as their parents gak bisa memenuhi kebutuhan mereka dengan cara terbaik. Gak bisa mendidik mereka dengan cara terbaik, gak bisa menyekolahkan mereka di sekolah terbaik, gak bisa nyekolahin mereka sampai S2, gak bisa mengirim mereka holiday ke Europe. Bagaimana kalau mereka protes akan hal itu?

Bu, dulu kamu disekolahin orangtuamu sampai S2. Kenapa kami hanya disekolahkan sampai S1 saja?S

Secara praktisnya, saya gak memikirkan mereka secara makro untuk memberikan manfaat bagi peradaban dunia; menjadi bagian dari perdamaian dunia. Oh, itu terlalu jauh. Saya hanya berharap mereka bisa secara mandiri menghidupi diri mereka; tidak tergantung sama orang lain. Kalau mereka bisa berkontribusi lebih pada nusa bangsa dan agama, itu adalah nilai plus. Ya kan?

Iya, saya sempet loh mikirin itu semua di sela-sela deadline penyerapan anggaran, realisasi KPI, penyusunan Rencana Anggaran tahun 2023, penyusunan rencana kerja 2023, sambil ngomel via WA ke rewang-rewang di rumah yang pada ijin gak masuk kerja.

Ya sudah. saya simpan dulu catatan ini, supaya besok-besok ketika wacana punya anak ketiga muncul saya bisa menjadikan apa yang ditulis di sini sebagai bahan pertimbangan. Ya kan?

Cheers,

Advertisement

6 thoughts on “Sebuah wacana

  1. Apakah punya anak itu candu ya? Kayak semacam ketagihan lucunya, walaupun merepotkan… aku dapat cerita yang sama dari bbrapa orang di dekatku…

  2. Masya Alloh,,,princess galau apa kabarnya…

    Wis duwe anak pira kiyeee.

    Duh lgs berasa aku wis nini2 banget kiyeee Ais.

    Penyerapan anggaran 😱 krungu wis deg2an dimin.

    Semoga Allah mudahkan semua urusan Ais dlm membersamai anak2 yaaa,

    Salam kangen,,,hayuk kita meet up lagi, pasti ceritanya bakal ga jauh dr anak2.

    Barakallah ya Ais

    Big hug…

    1. sebulan kemudian aku baru baca dooooong. hahahahahaha, salah satu blogger yang menginspirasiku buat kerja, inget gak obrolan kita di alun-alun terus mbak dev nanya-nanya soal tesis ku. aaaaakkkkkkkkk… udah lama banget ya. anakku dua mbak dev, Alhamdulillah lagi mau nambah tapi banyak mikirnya. hehehehehehhe *huuug*

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s