Tergelitik

Sore ini, di twitter saat timeline riuh karena gempa yang mengguncang beberapa wilayah di Pulau Jawa, saya malah sibuk me-reply twitter salah satu akun di twitter. Pertanyaannya tentang usia berapa kamu merasa terdesak untuk menikah? Saya menjawab panjang untuk twitter tersebut. Well, not really. Hahahaha, maksudnya gak sepanjang itu untuk dijadikan thread. tapi lumayan panjang karena jadi 2 reply-an.

Jawaban saya di twit itu membuat saya ingin menulis di sini. Saat pikiran saya buntu terhadap data yang harus saya olah, saya ingin sedikit release dan mengurai isi kepala saya. Menulis pernah menjadi arena saya untuk ‘lari’ dari rutinitas. So, kita coba lagi ya saat ini.

Menikah, pernah menjadi sesuatu yang sangat menakutkan bagi saya. Ada titik di mana saya tidak ingin menikah. Akhirnya saya memutuskan untuk menikah dengan suami saya waktu itu sebenarnya karena social pressure. Oh ya, betul. Saya termasuk dalam kelompok itu; Kelompok yang dinilai oleh para netijen masa kini sebagai ‘wanita-hampir-matang-yang-takut-menghabiskan-waktu-sendiri-dan-akhirnya-terpaksa-menikah’. Terus habis tuh saya mikir lagi; Apakah saya bahagia? Lalu terlintas begitu saja, kilas baik pernikahan yang saya jalani yang baru seumur jagung. Bagaimana saat saya bertengkar dengan mas bojo, bagaimana saya mewek nangis-nangis karena baru punya anak dan jahitan sesar perih dan bayi yang berumur seminggu nangis tiada henti, bagaimana saya dan mas suami date night nonton film yang ‘gak saya banget’ karena cuman ada itu yang tersisa di jam itu, bagaimana kami mengobrol pelan-pelan sambil makan ciki di lantai saat tengah malam -karena waktu itu anak-anak gak boleh makan ciki, tapi kami lagi pengen banget-, bagaimana kami berdua terbahak-bahak melihat ulah si bungsu, dan masih banyak lagi cekikikan kami lainnya.

Ketika ada pertanyaan itu… apakah kamu bahagia? saya tidak melihat pilihan lain untuk lebih bahagia dibandingkan saat ini. Maksudnya, apakah saya lebih bahagia kalau saya tidak menikah? Belum tentu. Pun, saat saya bertanya dalam hati : gue telat nikah gak sih? Di saat teman-teman seangkatan saya sudah mulai menyekolahkan anak di Sekolah Dasar. Apakah saya akan lebih bahagia kalau saya nikah di waktu yang tepat? i’m not sure about that.

Sama seperti saya gak tahu apa yang akan terjadi jika saya memilih pilihan – pilihan lain dalam hidup. Apakah saya akan lebih bahagia ketika saya memutuskan kuliah di jurusan lain? Apakah saya akan lebih bahagia ketika saya gak mutasi dari kantor lama saya? Apakah …

Kayanya, dua postingan lalu saya ngebahas mengenai pilihan juga ya? Lagi disuruh milih apa sih, mbak ais? Hahahahahahaha. Gak tahu ya. Apa alam bawah sadar saya lagi berusaha memberitahu tentang sesuatu? Atau saya lagi butuh validasi atas pilihan – pilihan saya saat ini?

Well, apapun itu saya cuman ingin bisa menulis ini di sini. untuk pengingat bahwa; ya bahagia itu kadang bukan melulu tentang apa yang didapat dan dicari, tapi pada rasa syukur.

Cheers,

-mbak ais yang lagi dikejar revisi hasil olah data tapi malah ngeblog sambil dengerin sheila on 7. Iya, yang lagu itu.

4 thoughts on “Tergelitik

  1. Aku percaya bahagia itu perasaan sesaat. Jam ini bisa bahagia banget, nanti malam bisa nangis. Jadi tujuan hidup aku bukan lagi bahagia seh sekarang. Tapi kalau soal menikah kayaknya aku juga bukan yang waktu menikah mikirnya dia adalah orang yang tepat buat aku. Tapi lebih ke sudah saatnya 😂

  2. Setiap datang ke dramaland, aku ngerasa waktu cepet sekali berjalan. Ini bukan tempat numpahin komen seenaknya lagi, tapi lebih ke tempat perenungan… mungkin namanya harus diganti dari dramaland, jadi perenungan-dari-kenyataan-hidupland. Ntah emang mbak Ais yang cepet berubah, atau aku yang susah banget move on..

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s