Aku tidak pandai beranalogi, hanya saja aku suka beranalogi
Seperti dia yang pernah kupanggil Pagi. Bukan karena ia adalah manusia pagi yang selalu menyapa mentari.
Aku bahkan tidak pernah mendapatkan sapa darinya sebelum pukul tujuh pagi.
Hanya saja, dia itu seperti layaknua pagi… seperti semangat yang mengharuskan kita memulai sesuatu. Seperti rutinitas yang mewajibkan kita untuk bergerak. Seperti awal yang memaksa kita untuk memulai.
Seperti … awal yang baru.
Karena memang pada waktu aku bertemu dengannys … kondisinya seperti itu. Aku baru mengakhiri episode patah hati yang melibatkan kehilangan sahabat dan kehilangan lainnya, lalu dia datang begitu saja entah darimana. Seperti memaksa aku untuk mengakhiri episode patah hatiku, mengharuskan aku jatuh cinta pada tiap sapanya yang hangat, senyumnya yang ramah, rayuannya yang manis, keinginannya berbagi impian yang menjanjikan.
Dia … si pagi yang ternyata tidak hanya menyebarkan pagi untukku, tapi untuk yang lain juga. Dan aku pun harus merelakan pagiku menjadi pagi bagi wanita lain.
Lalu aku bertemu dengan dia yang lain. Aku menganalogikannya seperti sore.
Sore, bukan senja. Karena senja itu hangat dan memabukkan. Dan lagi, aku pernah bertemu dengan senjaku terlebih dahulu. Senjaku dulu terlalu manis, memabukkan, sehingga membuatku perlahan mati dalam harapan semu.
Tapi sore itu biasa. Hanya waktu biasa tanpa paksaan, tanpa kewajiban dan tanpa keharusan.
Sore itu hanya pertanda di mana kita akan mengakhiri rutinitas, tanpa yakin akan mengakhirinya. Sore itu biasa. Malah kadang kita melupakannya. Kadang karena terjebak pada rutinitas, kita melupakan sore dan kembali sadar saat gelap menjemput.
Tapi tahukah kamu. Sore adalah waktu yang melenakan, jika kita mengijinkan diri sendiri menikmatinya. Sore adalah waktu reflektif, seperti semesta yang memberi jeda kita untuk memperbaiki kealpaan kita sebelum hari berakhir. Sore bukan akhir seperti malam, bukan awal seperti pagi, bukan kobaran klimaks semangat seperti siang.
Sore hanyalah sore.
Dan aku pernah bertemu dengan soreku. Baru saja aku mengucapkan pisah padanya. Karena dia tidak seharusnya menjadi soreku.
Tapi bagaimana lagi, aku pernah mengijinkannya membawaku pada kenyamanannya yang melenakan. Aku pernah terbuai pada manisnya yang bukan paksaan. Aku jatuh pada rutinitasnya yang tidak mengikat. Aku terpesona pada tiap sesap biasanya.
Bersamanya lelahku tak kurasakan, bersamanya rutinitas menjadi menyenangkan, bersamanya waktu seperti punya dimensinya sendiri,
Caranya membalas senyumku, kecup hangat di tiap perjumpaan kita, sentuhannya yang menenangkan.
Lalu perlahan … seperti gelap yang menjemput dan waktu yang tidak absolut, aku harus merelakannya pergi
Seperti aku merelakan pagiku. Kini aku pun harus merelakan soreku, agar aku bisa bertemu dengan hariku.
Karena tiap perpisahan pasti akan membawa perjumpaan kan?
Lagipula, bukannya aku kehilangannya. Aku masih bisa bertemu sore di tiap hariku, walaupun … dia bukan lagi soreku.
Ah … pada tiap sapa yang semakin mendingin, aku hanya menitipkan salam. Untuk tiap senyum hangat dan canda tawa yang pernah singgah di antara kita. Bukan ingin itu kembali, karena … terkadang aku rindu.
Karena pernah, walau sesaat … aku merasakan tatapan matamu memandangku … penuh cinta.
Lama gak nulis fiksi, tapi sudah lupa bagaimana menulis fiksi dengan menggunakan tokoh. Ah rindunya …