Memiliki Anak: nyatanya bukan untuk semua orang

Haaaiii…. haaaaaiiiii…

Ada sesuatu yang sangat menggelitik saya malam ini, hingga akhirnya saya membuka aplikasi wordpress dari HP dan add new post.

Well… it’s been a long time ya kita gak bersua, dramaLand!

Malam ini, satu jam yang lalu saya baru sampai di rumah. Setelah menempuh kemacetan luar biasa dari Taman Safari, Bogor.

Ngapain ke sana, Is?

Saya menjemput anak kedua saya yang lagi piknik sama temen-temen TK nya.

Kenapa dijemput, Is? Emang dia rewel? Emang dirimu cuti?

Jawabannya enggak. Dia gak rewel. Dan saya gak cuti. Saya mengajukan ijin meninggalkan pekerjaan setengah hari untuk menjemput anak saya yang baik baik saja pas lagi piknik sama temen temennya.

Pas di jalan tadi, saya mikir berulang kali. Gue ngapain ya macet macetan dua jam lebih. Sampai TKP juga anaknya happy happy aja. Kalau gue gak dateng juga gak apa sebenarnya

Macetnya dua jam lebih. PP ya hampir 5 jam kan ya. BUAT APA?

itulah, yang namanya bucin. Gak kebayang saya bisa sebucin ini. Bucin tuhkan gitu ya, kita rela melakukan apa saja, bahkan yang gak masuk akal.

Hubungannya sama judul apa ya?

Jadi gini, beberapa minggu belakangan saya lagi berproses memahami anak pertama saya yang akan berumur 7 tahun di tahun ini.

Dia tuh …. gimana ya menceritakannya …

Dia tuh sangat ekspressif dan sangat menantang untuk dipahami. Ada aja yang salah dari cara komunikasi kami.

Disuruh gosok gigi, ngomel. Disuruh sholat, bilang iya nanti. Disuruh makan, bilangnya gak laper. Dibilangin jangan malan cokelat terus, doi ngambek.

Dari gentle parenting sampek don’t care parenting dah coba saya terapin ke pola komunikasi kami. Sampai sampai hampir tiap malem pas dia dah tidur saya peluk peluk dia sambil minta maaf karena hampir tiap hari saya habis kesabaran ke dia.

Iya, definisi love-hate-love yang tidak masuk akalpun saya alami dalam relasi ibu-anak saya. Dia bahkan belum remaja, bund. Kebayang ya semakin menantang pasti kan ke depannya.

Nah, dari dia cerita di atas; antara bucin dan relasi love-hate-love itu saya jadi paham kenapa ada orang bilang punya anak nyatanya bukan untuk semua orang

Gak masuk akal.

Hubungan ibu dan anak itu ya se’gak masuk akal’ itu. Iya, hidup menjadi lebih tertata dan terfokus. Karena ada makhluk Allah yang bergantung hidupnya dunia akhirat sama kita.

Tapi dengan memiliki anak, kita sudah harus memikirkan segala sesuatunya dengan lebih kompleks. Gak bisa dong kalau lagi marah sama anak kita tinggalin dia di rumah gitu aja?

Gak bisa dong kita ancem dia terus terusan?

Karena, seberpengaruh itu apa yang kita lakukan untuk mereka ke masa depan mereka.

Seberpengaruh itu jarak kelahiran dua anak saya yang ‘hanya’ 20 bulan menimbulkan efek siblings rivalry yang begitu dahsyat di anak pertama saya.

Kebayang gak sih dari keteledoran saya dan suami dengan tidak merencanakan jarak kelahiran dan kemudian tidak langsung mengatasi dengan cara yang benar, ada emosi yang kurang matang di anak saya.

Yah jadi memang betul. Punya anak gak buat semua orang. Gak bisa kita pengen punya anak karena kita pengen aja.

Sudah sejauh mana kita menyiapkan diri kita dan pasangan untuk menjadi orangtua?

Bukan berarti saya merasa si paling siap. Kalau saya merasa yang paling siap tentu saja tulisan ini gak akan ada.

Hahahaahahahaha

Cheers,

*tulisan ini dibuat sambil nyium2in anak pertama saya yang hari ini being a good girl banget.