Non scholae, sed vitae discimus

beberapa bulan yang lalu saya mendapat panggilan untuk tes menjadi guru di salah satu sekolah Yayasan Islam di daerah Purwokerto. Tapi karena satu dan lain hal saya tidak bisa memenuhi panggilan itu. Saya memang sudah sejak lama tertarik menjadi guru, seperti yang pernah saya tuliskan sebelumnya di tulisan ini, oleh karena itu saat memutuskan untuk menuliskan tugas akhir pun, saya menuliskan mengenai pendidikan.

kenapa pendidikan? dan kenapa guru?

itu merupakan sebuah penjabaran yang cukup panjang hingga akhirnya saya memutuskan menulis tugas akhir mengenai guru beberapa tahun yang lalu. saya percaya, bahwa akar permasalahan yang ada di Indonesia baik itu terkait dengan carut marut sistem, korupsi di mana-mana, kemudian kekerasan yang marak terjadi, belum lagi permasalahan-permasalahan kriminal yang seringkali menghiasi media itu berasalmula dari pendidikan.

saya pernah mendengar guru sejarah saya berkata saat saya SMP, pada saat Jepang dibom pada tahun 1945, yang pemerintah Jepang tanyakan pertama kali adalah berapa  jumlah guru yang tersisa, bukan jumlah pangkalan militer yang masih berfungsi, tetapi jumlah guru yang tersisa. dan lihatlah majunya Jepang saat ini. Dan ingatkah cerita saat negara tetangga kita; Malaysia ‘meminjam’ guru-guru kita untuk mengajar masyarakat Malaysia? dan Malaysia berdasarkan Education Development Index (EDI) dalam Education For All Global Monitoring Report 2011 yang dikeluarkan oleh UNESCO menempati posisi 65, sedangkan Indonesia menempati posisi 69.

hingga saat ini sayapun meyakini bahwa untuk memperbaiki kekacauan yang terjadi di negara ini adalah mengutamakan pendidikan. saya selalu dan selalu dan selalu menunggu pemimpin yang bisa lebih concern membicarakan pendidikan dengan sangat baik. tapi yang saya pahami hingga sejauh ini perhatian pemerintah terhadap pendidikan memang sudah cukup baik. ini mungkin loh jikalau melihat alokasi anggaran untuk pendidikan dalam APBN yang meningkat.

Sudah cukup baik, tapi belum CUKUP untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita. Pernah mendengar mengenai sekolah yang ditutup? Pernah mendengar mengenai sekolah yang kekurangan murid (pernah Is! di film Laskar Pelangi!)? Pernah mendengar kasus tawuran? Pernah mendengar kasus bullying?

Baru-baru ini sepupu saya, Alya bercerita kepada ibunya bahwa ia tidak mendapatkan teman di sekolah barunya, dan teman-temannya membicarakan kejelekannya di depan ia. dan tidak jarang ia malas berangkat ke sekolah. bukan hanya karena teman-temannya itu, tetapi juga karena begitu banyak tugas yang dibebankan kepadanya. Inilah yang dari dulu selalu menjadi perhatian saya; kenapa anak menjadi malas sekolah? Kenapa belajar di sekolah menjadi sesuatu yang membosankan? Hayo ngacung yang mengalami masa-masa males sekolah dan sering mbolos? *cung!!

Padahal jika kita melihat, bukankah rasa ingin tahu itu merupakan salah satu  naluri dasar manusia juga? Keponakan saya si Zi itu rasa ingin tahunya besar sekali walaupun umurnya baru dua setengah tahun. Kalau dia tidak mengerti akan suatu hal, ia akan bertanya kepada Papa-Mamanya, ia menjadi sangat kritis. Pertanyaan “Papa lagi apa?” akan berlanjut hingga “Sholat itu apa?” (Walaupun curiga juga dia mungkin gak paham sama apa yang dia tanyakan! Hahahaha..)

Pernahkah kawan-kawan melihat ada anak balita yang baru belajar merangkak ia akan merangkak menuju objek baru yang menarik perhatiannya dan memasukkannya ke dalam mulut? Anak itu lagi berusaha mengenali, berusaha mencaritahu mengenai sesuatu. Dan anak akan terus begitu, bukankah? Selalu berusaha mencari tahu apa yang tidak ia ketahui.

Bagaimana dengan kita? Dengan orang dewasa? Kapan terakhir kali memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap sesuatu? Bukan penasaran sama gebetan yah :mrgreen: Saking pengen tahunya sampek kita duduk membuka buku dan membaca. Atau membuka laptop untuk mencaritahu. Kapan? Saya sudah lupa.

Kenapa rasa ingin tahu kita bisa mati? Yang saya dapati sampai saya menginjak bangku SMA, pendidikan di Indonesia menganut apa yang menurut Freire (dalam William O’neil, 2001) sebut dengan pendidikan gaya bank. Istilah tersebut digunakan untuk sistem pendidikan yang menjadikan guru sebagai subjek, yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada murid. Murid adalah wadah atau suatu tempat deposit belaka. Dalam proses belajar itu, murid semata–mata merupakan objek. Murid–murid banyak mencatat, menghapal, tanpa mengerti dengan baik maksud dari bahan–bahan yang diberikan oleh guru.

Yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan–pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal dan diulang dengan baik dan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan gaya bank, dimana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan.

Bukankah pendidikan seperti itu yang kebanyakan diterima oleh kita sebagai warga negara Indonesia? Dan dalam pandangan saya, pendidikan seperti itulah yang mematikan rasa ingin tahu kita. Kenapa? Karena terkadang kita mempelajari apa yang TIDAK KITA BUTUHKAN, serta APA YANG TIDAK KITA INGINKAN.

Saya mengagumi model pendidikan yang diusung oleh Paulo Freire seorang filsuf pendidikan, yaitu model pendidikan yang membebaskan yang merupakan kebalikan dari model pendidikan gaya bank. Guru, dalam pandangan Freire tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi mereka harus menjalani peran sebagai orang yang mengajar dirinya melalui dialog dengan para murid, yang pada gilirannya di samping diajar mereka juga mengajar.

Itu adalah hal pertama yang harus ditanamkan di hati guru-guru, bahwa mendidik itu bukan hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan.

Kemudian, hal yang berperan lagi adalah: kurikulum. Sistem kurikulum di Indonesia memang sedang berkembang mencari pola yang bagus. Dan satu hal yang harusnya menjadi pegangan para penyusun kurikulum adalah: kurikulum itu bukanlah subjek utama dalam pendidikan. Subjek utama pendidikan itu adalah peserta didikkan? Jadi yang harus menjadi perhatian utama adalah bagaimana kurikulum menyesuaikan dengan peserta didik. Bukannya: peserta didik yang menyesuaikan kurikulum.

Kedengeran sulit? Oleh karena itu, pemerintah butuh dukungan semua lapisan masyarakat untuk menyadari bahwa pendidikan merupakan pilar utama dalam membentuk karakter masyarakat itu sendiri. Pendidikan itu penting, tapi perlu diingat bahwa pemerintah dan guru serta sekolah bukanlah pihak yang bersebrangan dalam dunia pendidikan, kita harus berada di tim yang sama untuk memajukan pendidikan di Indonesia, mungkin salah satu caranya dengan ikutan lomba blog  seperti ini. hahahahhahaha… setidaknya dengan ini kita paham dan mengerti seberapa penting pendidikan di dalam membentuk karakter bangsa.

Non scholae, sed vitae discimus.

[*Kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup]

***

daftar pustaka :

O’neil, William F. 2001.  Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

 

berbincang tentang cita-cita

saya ingin jadi guru. bayangan menjadi guru selalu menghampiri saya sejak TK. saya mengagumi guru saya sewaktu TK, karena Beliau mampu membuat saya nyaman di luar rumah.

keinginan menjadi guru tersebut hilang sejenak saat saya mempelajari Akuntansi di bangku SMP. saya tergila-gila pada Akuntansi hingga SMA. dan mati-mati an ingin masuk  jurusan Akuntansi saat mengikuti UMPTN. sampai dua kali saya mengikuti UMPTN, tapi ternyata gak lolos juga masuk jurusan Akuntansi.

mungkin, Tuhan tahu, saya sebenarnya tidak begitu pandai mengurus angka. 

Lalu saat bimbang dalam penentuan tema skripsi, saya menyadari ketertarikan saya pada dunia pendidikan. saya menyadari bahwa perkembangan pendidikan itu sejalan dengan perkembangan kebutuhan. harusnya seperti itu, namun yang terjadi pada diri saya adalah : saya menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan yang ada di Negara yang saya cintai ini.

Pendidikan di Indonesia mengalami pergeseran makna saat anak memasuki usia sekolah. Pendidikan yang tadinya diharapkan mampu membantu anak memenuhi kebutuhan, menjadi sekedar kewajiban.  Semakin meningkatnya kebutuhan anak, tidak ditunjang dengan baik oleh pendidikan yang didapat.  Pendidikan yang maknanya begitu luas dikerucut menjadi sekolah. Hampir sebagian masyarakat  di Indonesia percaya bahwa institusi pendidikan hanya sekolah.

Padahal pendidikan itu tidak sama dengan sekolah.

Dari situlah akhirnya keinginan kuat saya menggali lebih dalam mengenai pendidikan di luar sekolah; khususnya homeschooling. Hingga akhirnya jadilah sebuah karya tulis mengenai  perspektif pendidikan pembebasan dalam  model sekolah  homeschooling.

dari menyusun karya tulis tersebut, saya banyak belajar dari seorang filsuf pendidikan; Paulo Freire, Beliau adalah seorang tokoh yang terkenal  dalam aliran pendidikan Liberasionisme.

Freire lah yah mempopulerkan istilah pendidikan gaya bank. Istilah tersebut digunakan untuk sistem pendidikan yang menjadikan guru sebagai subjek, yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada murid. Murid adalah wadah atau suatu tempat deposit belaka. Dalam proses belajar itu, murid semata–mata merupakan objek. Murid–murid banyak mencatat, menghapal, tanpa mengeri dengan baik maksud dari bahan–bahan yang diberikan oleh guru [O’neil, 2001 ].

Yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan–pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal dan diulang dengan baik dan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan gaya bank, dimana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan. [O’neil, 2001 ].

Dan pendidikan seperti itulah yang dikritik oleh Freire.

Pendidikan yang membebaskan yang diusung oleh Freire merupakan kebalikan dari model pendidikan gaya bank. Guru, dalam pandangan Freire tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi mereka harus menjalani peran sebagai orang yang mengajar dirinya melalui dialog dengan para murid, yang pada gilirannya di samping diajar mereka juga mengajar.

dan model pendidikan pembebasan seperti itu lah yang terdapat dalam model pendidikan homeschooling.

namun ketertarikan saya pada dunia pendidikan terhenti begitu saja. kenapa Is?

Karena saya sedang tertarik dengan dunia HRD, lebih khususnya lagi pada relasi work-family, dan lebih khususnya lagi adalah: bagaimana seorang working mother mampu menyeimbangkan peran nya sebagai Ibu, Istri, wanita bekerja serta sebagai dirinya sendiri.

maka, beruntunglah saya yang memiliki sarana untuk memuaskan rasa ingin tahu saya. tidak seperti beberapa adek-adek di luar sana yang kesulitan mengenyam pendidikan dengan berbagai alasan.

satu lagi alasan untuk bersyukur, dan berhenti mengeluh di status FB

🙂

oh iya, selamat hari pendidikan nasional, semoga Tema Hardiknas tahun 2011 kali ini, yaitu :

Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa dengan sub tema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti

bukan hanya sebagai tema yang dipajang di spanduk di sekolah-sekolah, bukan hanya sekedar disampaikan pembina upacar besok pagi, namun juga mampu direalisasikan, sehingga generasi penerus bangsa memiliki karakter yang berbeda dengan mereka yang memimpin bangsa kita saat ini.

🙂

*postingan yang rodo serius sitik kali ini disponsori oleh skripsi saya, Paulo freire, salah seorang tokoh filsuf yang pemikirannya pernah begitu dalam di otak, hari pendidikan nasional yang jatuh esok hari, tema hardiknas yang saya dapat di sini, gambar dari sini. dan kepada dosen pembimbing saya yang cantik di sana 😉

semoga kamu gak bosan bacanya, tapi kalau bosan juga gpp ding. hahahahhahahaa….

daftar pustaka :

O’neil, William F. 2001.  Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Non scholae, sed vitae discimus.*

[*Kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup]