heiho… welcome June 🙂 selamat bulan Juni. Half year is already gone, isn’t it? Gak nyangka banget yah.. udah beredar ajaloh tanggalan hari libur dan cuti bersama tahun 2015 di group wasap saya. malem ini saya pengen reblog salah satu tulisan saya tahun 2011, jaman saya lagi mau nyusun tesis (it’s been 3 years! wew!)… tapi saya edit dikit yah, gak semuanya saya masukin yah. soalnya ada banyak kepentingan politik di dalam situ *tsah.
bercerita tentang Kate Reddy, seorang manajer investasi yang memiliki keluarga dengan dua orang anak. secara garis besar, buku ini menceritakan work-family conflict yang dialami oleh seorang Ibu yang bekerja. Kate memiliki dua peran yang harus dijalaninya, peran di kantor sebagai satu dari sedikit wanita yang bekerja di kantornya dan juga perannya di rumahtangga.
Kate memiliki seorang suami dan dua orang anak; Emily yang berusia lima tahun dan Ben yang masih berumur satu tahun. Kate mencintai pekerjaannya, namun dia juga berusaha yang terbaik bagi keluarga yang [sudah pasti] dicintainya.
Dalam buku ini digambarkan bagaimana Kate berusaha menyeimbangkan kedua perannya. menjadi Ibu yang bekerja akan jauh lebih sulit dibandingkan menjadi Ayah yang bekerja, dan satu part yang paling menggambarkan bagian ini adalah saat Kate bercerita bagaimana seorang pria akan terlihat keren, terlihat sangat mencintai keluarga saat memajang foto anak, istri dan keluarga-lah secara garis besar. Tapi menurut Kate, semakin tinggi jabatan seorang wanita bekerja, maka semakin sedikit foto yang dipajang.
Sama halnya seperti saat rapat mahapenting terjadi di suatu divisi dan seorang Pria meminta ijin untuk tidak ikut meeting, dengan alasan; “mengambil raport anak” maka akan mendapat respon;‘aaah soooo sweeet’. tapi jika wanita yang melakukannya, maka biasanya yang ia dapatkan adalah celaan betapa ia tidak bisa mengatur waktu.
The women in the offices of EMF [Kate’s firm] don’t tend to display pictures of their kids. The higher they go up the ladder, the fewer the photographs. If a man has pictures of kids on his desk, it enhances his humanity; if a woman has them it decreases hers. Why? Because he’s not supposed to be home with the children; she is.
well, buku ini memuat jungkir baliknya seorang Kate berusaha menjadi ibu dan karyawan serta istri yang baik. bagaimana ia mengakali ‘kue supermarket’ menjadi seperti kue homemade, bagaimana ia selalu berusaha ‘menyogok’ anaknya dengan berbagai mainan yang ia beli setelah bertugas ke luar negri, bagaimana ia berusaha menolak berhubungan seks dengan suaminya, bagaimana Kate mengupah pengasuh anak-anaknya dengan upah yang cukup tinggi agar memperlakukan anak-anaknya dengan baik, bagaimana akhirnya suaminya pergi dari rumah mereka saat Kate sedang bertugas di luar negri.
Saya belum mengalami posisi seperti Kate; seorang Ibu yang bekerja. Makanya saya terkejut menyadari betapa beratnya menjadi Ibu yang bekerja. No offense buat Ayah yang bekerja, suwer. Coba kalau kawan-kawan lagi nganggur dan mencari jurnal penelitian mengenai ‘working mother’ maka kawan-kawan akan menemukan sejumlah penelitian.
Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Cinamon dan Rich (2002), yang mengatakan bahwa sumber konflik pada ibu yang bekerja biasanya adalah karena adanya peran ganda, yaitu peran sebagai ibu rumah tangga (istri dan ibu dari anak-anaknya) dan juga peran sebagai pekerja. Setiap peran tentu saja menuntut konsekuensi dan tanggung jawab yang berbeda, yang terkadang saling bertentangan.
Mereka juga berkata wanita yang bekerja ternyata lebih sering mengalami konflik dan permasalahan keluarga dibanding pekerjaannya karena bagi kebanyakan wanita keluarga merupakan domain yang paling penting dalam kehidupannya. Permasalahan ini tidak sedikit mempengaruhi pekerjaan dan dapat menciptakan gangguan bagi mereka, sehingga menyebabkan penurunan kinerja.
Lagi, ngapain sih seorang wanita bekerja? Well, itu akan bergeser sedikit mengarah ke Tesis yang saya angkat. Terdapat beberapa dorongan kenapa wanita bekerja. Bisa karena faktor ekonomi, faktor relasional yang berkaitan dengan kebutuhan sosialisasi mereka, faktor aktualisasi diri juga menjadi salah satu faktor pendorong seorang wanita bekerja.
Faktor yang mendorong seorang wanita bekerja pada akhirnya berhubungan erat dengan bagaimana wanita memaknai pekerjaan mereka.
Pemaknaan wanita bekerja berbeda dengan pemaknaan bekerja pada pria, karena wanita pekerja memiliki konflik dan dorongan yang mungkin berbeda dengan pria dalam bekerja. Maka makna kerja bagi wanita pekerja dipengaruhi oleh alasan yang mendorong mereka untuk bekerja yang nantinya akan membawa kepada penetapan peran kerja, hasil yang diharapkan dari bekerja, serta batasan aktivitas pada wanita dalam bekerja.
Jadi, makna kerja bagi tiap Ibu yang bekerja akan kembali lagi pada tujuan dan nilai-nilai yang dianut oleh Ibu tersebut.
Hehhehehehehehe. saya mengacungkan jempol saya empat-empatnya untuk semua Ibu yang bekerja. Mereka hebat. Walaupun kalau boleh memilih pilihan saya di masa depan, saya ingin bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga full time. Andai saja, saya bisa 😀
pas baca tulisan ini sekarang, saya masih proses mencari… apa makna bekerja bagi saya? You know what…. saya gak paham. Saya gak paham apa makna saya bekerja saat ini (isn’t it ironic?) Hahahahaha… mungkin harus jadi bahan renungan tengah tahun ini yess.