Ada rasa sedih saat melihatmu bahagia.
Bukan karena aku tidak ingin kamu bahagia, melainkan karena bukan aku yang membahagiakanmu.
Itu menyakitkan… seperti pukulan yang sebenarnya ingin buatku tersadar.
hmmm…
Mungkin ini waktu untuk aku terpuruk,
supaya aku dapat melihat Tuhan memakai kenangan ini untuk buatku dipenuhi kesiapan,
sehingga doa dapat melahirkan semangat dan kemudian buatku bangkit.
Namun ketahuilah… sebelum aku sudah tak lagi mencintaimu,
ini darahku mengalir membawa bayang-bayangmu mengelilingi tubuhku
dan jantungku berdenting demi kau menari-nari di pikiranku.
Ada satu hal yang sampai hari ini masih membuat aku bangga menjadi aku,
yaitu… karena aku mampu terima kamu apa adanya.
Aku meminta ampun kepada Tuhan,
sebab aku pernah berharap kalau suatu saat… ketika angin menghempasku hilang dari daya ingatmu, aku ingin tak pernah lagi menginjak bumi.
Sebab hidup jadi terasa bagaikan dinding yang dingin.
Aku harus menjadi paku, sebab kamu bagai lukisan dan cinta itu palunya.
Memukul aku, memukul aku dan memukul aku sampai aku benar-benar menancap kuat.
Pada akhirnya, semoga…
tidak kamu lagi yang aku lihat sebagai satu-satunya cahaya di dalam pejamku sebelum pulas.
* Semoga tidak kamu lagi, karya Zaary Hendrik*
***
Hai kamu, pria yang telah memenuhi hatiku, sampai saat ini kamu masih memenuhi hatiku. Dimulai sejak kapan aku pun tak tahu. Hingga beberapa hari yang lalu kamu memintaku untuk bersamamu. Lagi. Bersamamu, melupakan hal-hal buruk yang pernah terjadi diantara kita, dan menata masa depan bersama, sembari merajut mimpi bersama.
Tahukah kamu aku memili ketakutan yang sangat besar saat ini? ketakutan yang tidak bisa aku definisikan,pada apapun dan pada siapapun. Aku takut melangkah bersamamu, mungkin jenis ketakutan yang orang bilang trauma. pfftt… aku ini lulusan Psikologi tapi menghilangkan trauma pada diri sendiri pun aku tak bisa. hei, dokter gigi juga tidak bisa mencabut giginya sendiri kan?
Trauma pada mimpi-mimpi dan rencana. Aku memiliki begitu banyak mimpi yang tiba pada waktu hanya mengisi lembar-lembar buku harian yang saat ini menjadi bahan buat aku bercerita fiksi, mungkin. Sekarang aku pun takut bermimpi bersamamu, karena aku takut bila tiba waktunya mimpi itu terwujud, aku sudah tak bersamamu lagi. Sakit rasanya berbagi mimpi bersama namun saat itu terwujud kau sudah tak bersamaku lagi.
Tidak ada siapapun atau apapun yang menjamin jika pada akhirnya kita akan bersama kan? Lalu buat apa kita bermimpi sekarang? aku takut. sungguh ketakutan tak bernama ini telah menjadi gelisah berkepanjangan hingga akhirnya aku tidak bisa membuatmu bertahan di sampingku.
Lalu saat si kawan datang membawa potongan puisi ini, aku tersentak. Aku membayangkan kamu membacakannya untukku. Aku membayangkan kamu yang mengatakan kata-kata itu kepadaku. Aku membayangkan kamu berkata: ‘semoga tidak kamu lagi’ kepadaku.
Ketakutan itu masih ada, makin membesar. Ketakutan kehilanganmu, ketakutan melangkah bersamamu. semua serba salah. kalau ini film Warkop DKI; maka judulnya adalah maju kena mundur kena.
Pfft… kamu, kamu adalah pria istimewa yang mau menerima aku apa adanya; aku yang terlalu cerewet dengan hal-hal kecil yang tidak penting, aku yang selalu bersuara manja denganmu, aku yang sering mengacuhkanmu saat kamu datang, aku yang sering sekali menghabiskan wkatu dengan teman-teman priaku, aku yang kadang tidak bisa membedakan keinginan dan kebutuhan, aku yang tidak mau mengalah saat berdebat, aku yang punya segudang kenangan dengan masa laluku.
Ingatkah saat pertama kali kita menyadari perasaan kita masing-masing, kita berusaha untuk mengingkarinya? Ingatkah cerita diantara Jogja Java Carnival, Siomay, Frau dengan Mesin Penenun Hujannya? Ingatkah saat pertama kali kita bertemu lagi? Ingatkah batang rokok yang pertama kali kamu hisap waktu itu? Ingatkah saat si beruang kutub menyemburkan isi mulutnya padamu saat kita bermain UNO? Ingatkah ini ingatkah itu … aku tidak pernah mau mengumpulkan dan merekam jejak perjalanan kita. di sini, di buku harianku, atau di manapun. di satu sisi aku mengingkari hadirnya ‘kita’ antara kamu dan aku, di sisi lain aku juga ingin perjalanan ‘kita’ akan terus ada antara aku dan kamu hingga aku tak perlu menyimpannya lagi karena akan ada ‘lain waktu’ bagi kita.
Saat ini aku merasa seperti anak kecil yang sedang ditunggu bermain di taman kota. Aku bermain dengan ketakutanku, dan kamu duduk di pinggir taman melihat itu semua. Tapi… sampai kapan kamu akan menunggu?
***
Puisi prolog di atas saya dapat dari partner in crime yang memasukkan musikalisasi puisi ini ke playlist di handphone saya. Puisi ini punyanya @zarryhendrik yang diambil sama si partner dari soundcloudnya (soundcloudnya Zarry, bukan si Partner) .