bapak saya bukan presiden…

begini ceritanya;

ibu cantik dengan handphone di tangan menghubungi suaminya yang memang sehari – hari tidak tinggal bersamanya:
“malam ini pulang jam berapa pah? ini ada anaknya udah dateng loh dari kemaren…”

“…..”

sang bapak menjawab dengan sesuatu yang tidak ditangkap oleh indera pendengaran penulis.

“jadi gak bisa pulang cepet malam ini?!?!”

“…”

” ya udahlah…”

klik. handphone di tutup, dan ibu cantik tersebut menyampaikan kepada penulis :
“bapak masih rapat. gak tahu rapat sampai jam berapa. udah, gak usah ditunggu. kita makan duluan aja yuk?”

* * *
ibu : mamah saya
bapak : bapak saya
penulis : saya

* * *

begitu lah kondisinya. bapak saya memang tidak tinggal di rumah di kesehariaannya. karena tempat beliau bekerja saat ini terhitung cukup jauh dari rumah, bapak memutuskan untuk menyewa kamar kost di deket kantor. dan pulang ke rumah hanya di kala weekend atau ada urusan di kantor pusat di “jakarta”.

bapak saya jarang di rumah.

dari kecil saya sudah sering merasakan itu. tapi bapak juga yang menjadi orang nomor satu yang meminta saya pulang ke rumah tiap kali saya libur. dan menjadi orang yang paling jarang juga saya temui di rumah saat saya pulang.

bukan alasan memang menjadikan itu semua ke engganan saya untuk pulang. bapak saya mencintai saya. saya paham itu dari cara beliau meminta saya untuk pulang.

namun jujur, saya juga sering kecewa saat tahu bapak tidak bisa selalu ada saat saya pulang ke rumah. sibuk rapat ini, rapat itu, kunjungan ke sini, kunjungan ke situ.

alhamdulillah, bapak saya bukan presiden.

jadi masih bisa untuk di bujuk makan es duren di ujung komplek. doain yah. semoga besok bapak saya gak sibuk.

* * *

masih bisa di ajak karokean lagi!

* * *

oh iya, catatan buat diri sendiri :

orangtua saya saja yang bersama-sama untuk 30 tahun lebih ; dan mamah saya pun siap sedia menelan kekecewaan mendengar kata – kata “tidak jadi” di tiap rencana yang telah di buat.
coba pikir, selama 30 tahun… bukan malam ini saja kan mendengar kata – kata itu?

jadi, “tidak jadi” dan “tidak bisa” punya pria mu itu belum ada apa – apanya.

so, es duren?

ingatan

rintik gerimis ini membawa ingatanku ke masa itu,
dan,rasa itu pun masih seperti dulu,mungkin..

ingatan.
Aku membencinya,terkadang..

Tidak selamanya.

Seperti cinta,ingatan tidak pernah salah memang

namun,apa kah segala sesuatu yang kita benci adalah sesuatu yang salah?

Tidak selalu

tapi saat ini kuyakin,aku membenci ingatanku tentang seseorang itu,
karena aku benar-benar merasa bersalah mengingat dia..

Peluk aku malam,biar kurasakan dingin mu,
agar ingatan tentang dia hilang…

karena gelisahku semakin menjadi bimbang..

dualisme tiada berujung saat kata puas tidak pernah cukup untuk memandang wajahmu,

yah,ingin hilang ingatan tentang dia saja rasanya

rasa ini..

malam ini saya belum mengantuk
mata masih siap siaga,sambil memandangi eternit kamar.
Padahal mulut sudah menguap berulang kali dan badan sudah lumayan letih rasanya.

Ini malah bayang-bayang si dia heboh bergelayut di pikiran saya.
Setelah heboh perang dingin selama beberapa minggu kemarin,saya baikan sama si dia.Gencatan senjata,bendera putih lah ceritanya.

Gak pake amarah,saya membuka pintu rumah saya untuk dia.
Dan,sebelum si dia mengucapkan kata maaf,saya sudah memaafkan dia..

Saya bingung.Lalu kata-kata dari seorang kawan menyadarkan saya;
“karena sebenarnya bukan kata maaf yang kamu nanti, tapi kehadiran dia yang kamu tunggu”
saya mengangguk, menyetujui kalimat itu.

Karena,pada akhirnya I’m forgeting what we’re fighting for..

Penyelesaian dilewati dengan beberapa jam obrolan,dan malam ini… saya dan si dia berbagi kepingan dvd.

Perasaan saya saat duduk di sebelah dia ternyata belum berubah dari satu tahun yang lalu.Apalagi saat dapat kesempatan melirik ke dia saat dia lagi serius nonton…

Dan,saya sadar..
ternyata saya masih mencintainya,seperti dulu.
tidak.
saya salah.
tidak seperti dulu.
tidak seperti dulu,karena ternyata rasa ini lebih mendalam,melebar,meluas..

lalu?