Kepada pemilik senyum mempesona sepanjang masa,

Aku tidak pernah memiliki rencana untuk terpesona pada senyumanmu itu. Ingatkah saat pertama kali kita bertemu? Kau tidak tersenyum, kau bahkan melirik galak ke arahku. Jika saja saat itu sendal jepit yang aku pegang, sudah kulempar sendal itu ke wajahmu. Beruntunglah kau, aku memegang handphone yang baru dua bulan resmi menjadi milikku. Aku biarkan saja kekesalanku menguap dan aku membalas lirikanmu dengan senyum terbaik yang bisa kuberikan. Kenapa senyum? Karena aku yakin, senyuman adalah cara paling mudah untuk meredakan konflik. Aku berharap sangat pertemuan pertama kita tidak menghasilkan konflik walaupun dibuka dengan lirikan galakmu.

Baiklah, kuberitahu kau satu rahasia: pesona pertamamu yang berhasil membuat jantungku berdetak ribuan kali lebih cepat adalah tatapan matamu yang sayu, yang menyimpan berjuta misteri yang membuatku ingin mengetahuinya. Tahukah kau seperti saat kau pergi ke toko buku favoritmu, lalu kau melihat ada satu buah buku yang sangat menarik hingga membuatmu ingin membuka lembar-lembar di dalamnya. Namun itu tidak mungkin dilakukan saat itu juga karena biasanya buku – buku bagus di toko buku diberi sampul plastik ketat yang tidak memungkinkan untukmu melihat lembar di dalamnya. Seperti itu lah kesan kedua yang kudapat darimu dari perjumpaan pertama kita; setelah lirikan galakmu yang menyebalkan. Aku ingin mengetahui dirimu lebih jauh. Mengetahui lebih mendalam mengenai tatapan sayu itu.

Sepuluh menit setelah pertama kali bertemu, kau menghampiriku. Ah… mungkin memang sudah takdir jika malam itu menjadi malam milik kita. Kau menghampiriku. Karena instruktur kita menyuruhmu. Menyuruhmu untuk satu kelompok diskusi denganku. Mukamu masih galak. Galak dan sayu. pernahkah kau mengetahui kombinasi itu? Jika belum, aku menyimpannya. Akan kubagi padamu jika kau mau.

Kembali ke malam itu. Kau diam dalam kelompok kita. Entah apa yang kau pikirkan. Aku berusaha sangat keras mengungkapkan pendapat terbaik yang aku bisa. Kenapa? Tentu saja untuk menarik perhatianmu. Ah hati memang bisa bercanda, tapi ia tidak berbohong saat mengirimkan sinyal. Berdetak berpuluh kali lebih cepat saat aku tak sengaja terperangkap dalam sayu-nya matamu. Lalu… voila.. kau pun tersenyum saat aku mengungkapkan pendapat. Pendapat yang aku yakin akan membuat guru bahasa Indonesiaku bangga setengah mati, karena aku bisa mengingat setiap perkataannya.

mungkin aku harus berterimakasih kepada Guru bahasa Indonesiaku itu, karena berkat dialah aku menemukan senyuman paling mempesona sepanjang masa. andai Leonardo Da Vinci masih hidup, maka bukan Monalissa yang ia lukis, melainkan kau. Aku yakin. Atau separuh yakin. Karena aku kan tidak paham soal lukisan. Yang aku paham saat ini hanya senyumanmu itu candu bagiku.

Jadi, kepada pemilik senyum mempesona sepanjang masa, terimakasih untuk senyumanmu itu. Beri aku waktu, karena aku akan berusaha terus hingga akulah yang menjadi alasan favoritmu untuk tersenyum, bukan gadis di wallpapper handphonemu, bukan gadis yang mengirimu sms, bukan pendapat yang aku tiru dari Guru Bahasa Indonesiaku, bukan lagi apapun, melainkan aku. Aku.

***

FYI, cerita di atas hanyalah sebuah fiksi. terisnpirasi dari seseorang yang tidak bisa disebutkan namanya. Hahahahaha. oh iya, gambarnya ngambil dari sini

see u next post πŸ™‚

7 thoughts on “Kepada pemilik senyum mempesona sepanjang masa,

  1. Senyumannya bikin kelepek2 yaa mbak,w akakak πŸ˜€
    Baca tulisan yang : bukan gadis yang di walpaper hape muh, bukan yang sms kamu, wah andai aku berani tulis juga kayak gini, tau gag yaa dia πŸ˜€

Leave a reply to Orin Cancel reply